Ampuhnya
Kanalisasi Media
Dalam literatur komunikasi, Lazarfeld
dan Merton (1948-1960) memandang media massa mengundang tiga kemungkinan, yakni
monopolisasi, kanalisasi, dan suplementasi. Monopolisasi (monopolization)
artinya masyarakat tidak berdaya menghadapi media karena sudah dimonopoli
media. Ini terjadi akibat tidak adanya upaya melawan propaganda yang dilakukan
oleh media massa. Hal ini tidak hanya pada masyarakat dengan sistem otoriter
tetapi juga di tiap masyarakat di mana tidak ada perlawanan terhadap suatu
pandangan, nilai kebijakan, atau citra publik.
Kedua, kanalisasi (canalization).
Kedua pakar komunikasi tersebut memerhatikan bahwa iklan biasanya hanya
berusaha untuk mencoba kanalisasi atau menyalurkan pada tingkah laku atau sikap
yang sudah ada. Ketika seseorang akan menggosok giginya dia teringat sebuah
merek produk yang secara terus menerus muncul di media dan meliputi benaknya.
Ketika di kota-kota besar diberitakan ada aksi demo, di daerah pun demikian.
Bahkan perilaku pejabat kota (misalnya) yang kerap korupsi pun ditiru
oleh pejabat di tingkat daerah. Di sini kanalisasi yang awalnya garapan
periklanan bergeser ke ranah lainnya: politik, sosial, ekonomi, dan lainnya.
Ketiga, suplementasi (supplementation).
Di sini, media massa yang tidak monopolistik maupun mengkanalisasi ternyata
terbukti efektif juga. Suplementasi berarti media berkolaborasi dengan kelompok
tertentu untuk menguatkan dominasinya, misalnya dalam acara talk show.
Seorang tokoh masyarakat atau politikus atau siapa saja jika sudah
berkolaborasi dengan media niscaya akan mampu membentuk opini publik yang
diinginkan. Situasi seperti ini kini dimanfaatkan (salah satunya) oleh TV-One.
Hampir setiap hari media ini mencoba menggiring opini publik untuk
tujuan-tujuan tertentu. Ada CPNS yang menolak pengangkatan CPNS karena
dirasa tidak fair. Ada lagi santri yang mengadukan karena disiram air
keras oleh salah seorang pengurus pesantren, dan lain-lain.
Kanalisasi
Media
Menyangkut kanalisasi media, ada yang
menarik akhir-akhir ini. Begitu kasus Prita Mulyasari mencuat, kontan berbagai
media menayangkan dan memberitakannya terus menerus. Sekali lagi opini publik
yang tendensius memaksa khalayak terkanalisasi. Masyarakat suka atau
tidak akan “dijuruskan” ikut membangun opini publik untuk memperjuangkan
sesuatu. Dan Prita (kebetulan) sosok yang menjadi objek kanalisasi media sehingga
mampu menggiring khalayak untuk menyumbang demi kebebasan Prita. Dari proses
kanalisasi media ini ratusan juta koin terkumpul dan disalurkan kepada Prita
untuk membayar kasus Prita.
Di sisi lain, berita kelangkaan minyak
tanah, krisis pangan, dan bencana alam di beberapa wilayah Indonesia seolah
menjadi bagian yang kurang penting dalam dinamika masyarakat Indonesia saat
ini. Di banyak daerah masyarakat Indonesia kesulitan mendapatkan minyak tanah.
Ingin menggunakan gas tidak ada, dan akhirnya berebut kayu bahan limbah dari
pabrik (di Mojoketo). Ada juga kasus penjarahan pupuk karena petani sudah mulai
kehilangan akal dalam menghadapi kelangkaan pupuk. Atau ada yang sengaja
menampung air hujan karena pipa ledeng lama tak mengucur (PR, 3/2).
Maksud saya, berilah porsi yang
seimbang dalam beberapa kasus. Media tv terutama, tampaknya sering mengarahkan
masyarakat pada kanal tertentu. Sebaliknya, pada media cetak porsi berita masih
cukup berimbang. Muatan berita skandal Century tampaknya sudah mulai
tidak dikanalkan, mengingat berbagai kepentingan belum mampu menghasilkan
keputusan yang melegakan banyak pihak. Justru wacana pemakzulan presiden dan
wakilnya yang mencuat seolah memberi peluang agar media lari dari Century.
Dan pemakzulan ini karena tidak semuanya menghendaki juga akhirnya deadlock.
Akhirnya semuanya serba kabur, tidak jelas. Dan karena ‘garapan’ media juga
tidak jelas maka masyarakat dikanalkan juga untuk tidak jelas.
Pendekatan
Marxisme
Adanya proses kanalisasi media ini
sebetulnya dampak dari pendekatan Teori Media Marxisme. Stuart Hall menampilkan
pendekatan Marxisme kultural yang menganggap media massa sangat
berpengaruh dalam membentuk kesadaran publik. Kulturalisme mengikuti
strukturalisme Althusserian yang menolak ekonomisme. Namun, tidak seperti
strukturalisme, kulturalisme menekankan pada pengalaman aktual kelompok dalam
masyarakat dan mengontekstualisasikan media ke dalam suatu masyarakat yang
dipandang sebagai a complex expressive totality (Chandler, mengutip
Curran et.al 1982 : 27). Masih menurut Curran, teoritisi Marxis berbeda
dalam pertimbangan mereka tentang determinasi media massa dan sifat serta
kekuatan ideologi-ideologi media massa.
Kasus Qilqis kini yang menjadi target
kanalisasi media. Bocah malang yang harus melakukan transpalasi hati ini
memerlukan biaya Rp 1,3 miliar! Angka fantastik yang tidak mungkin bisa
dikeluarkan dari kocek orang tuanya. Dan lagi-lagi media menganalkan publik
untuk simpati dan menolong Bilqis. Dan hebatnya, dalam hitungan hari sudah
terkumpul ratusan juta rupiah. Selain itu proses kanalisasi ini juga mengimbas
pada Departemen Kesehatan RI yang ikut membantu proses operasi Bilqis di RS
Karyadi Semarang.
Inilah (mungkin) yang saya sebut
“ampuhnya kanalisasi media”. Setelah kasus Prita berhasil menganalisasi publik,
kini publik dikanalisasikan untuk membantu penderitaan Bilqis. Dan nyatanya
masyarakat Indonesia sangat peduli terhadap nasib sesamanya. Memang terkadang
situasi ini dimanfaatkan oleh sekelompok orang atau segelintir pribadi untuk
bisa tampil di media. Untuk yang kedua ini sebetulnya masuk sebagai praktik
suplementasi media.
Jadi, kalau Lazarfeld dan Merton
menganggap monolipolisasi, kanalisasi dan komplementasi merupakan bahaya media
yang selalu mengintai, pada kasus ‘membantu orang kesulitan’ kanalisasi efeknya
positif. Bayangkan, jika media tidak mengekpos Prita atau Bilqis mungkin Prita
tidak bisa bebas dan Bilqis tetap menderita karena kelainan hati.
Implikasi lain dari kanalisasi media
tersebut adalah munculnya kesadaran kolektif masyarakat Indonesia dengan sikap
gotong royongnya. Secara matematis mobilisasi biaya dari masyarakat pada kasus
Prita dan Bilqis berhasil. Nah, tinggal bagaimana media mengkombinasikan agenda
media dengan pemilihan objek kanalisasi agar sikap paguyuban (gotong royong)
masyarakat Indonesia tetap terjaga. Meskipun di lain kasus masyarakat
dikanalisasikan sampai menjadi masyarakat patembayan (egois) yang hanya
mementingkan diri, tapi ternyata masyarakat Indonesia masih memiliki budaya
mulia.
Jika media mampu mengagendakan titik
krusial yang terjadi di masyarakat dan mengkanalisasikan secara positif niscaya
banyak persoalan masyarakat bisa teratasi dengan baik. Istilah hukumnya ‘jangan
tebang pilih’. Jangan hanya memilih kasus-kasus tertentu saja yang
dikanalisasikan sehingga mampu memobilisasi masyarakat untuk gotong roong. Gizi
buruk, himpitan ekonomi yang menyebabkan kasus bunuh diri, korban PHK yang
memprihatinkan, dan terakhir dampak liberalisasi perdagangan Indonesia-China.
Inilah yang harus menjadi agenda media.
Pemberlakuan ACFTA mulai 2010 lambat
laun akan memperlihatkan krisis multidimensi di negeri ini. Untuk
mengantisipasinya meminjam teori Marxis tentang kulturalisme. Di sini
kulturalisme menekankan pada pengalaman aktual kelompok dalam masyarakat dan
mengontekstualisasikan media ke dalam suatu masyarakat yang dipandang sebagai a
complex expressive totality. Lewat pendekatan ini proses kanalisasi media
yang selama ini sudah dilakukan akan lebih efektif lagi. Karena
bagaimana pun juga masih ada suara sumbang tentang ‘keberhasilan’ Prita dan
Bilqis. Mereka berhasil karena menjadi objek yang diagendakan media.
Jadi, pengalaman aktual Prita dan
Bilqis alangkah baiknya dikontektualisasikan media ke dalam masyarakat
Indonesia saat ini. Seluruhnya. Karena, seperti ungkapan Curran, masyarakat
kita sebagai a complex expressive totality. Inilah ampuhnya kanalisasi
media.
*Penulis praktisi media, pengajar Ilmu
Jurnalistik Fikom Unisba dan Fidkom UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
*Tulisan ini pernah dimuat di Pikiran
Rakyat 10 Februari 2010
11:59 PM | 0
comments | Read More