*Askurifai Baksin*

Written By Unknown on Sunday, July 29, 2012 | 11:59 PM


Ampuhnya Kanalisasi Media

*Askurifai Baksin*
Dalam literatur komunikasi, Lazarfeld dan Merton (1948-1960) memandang media massa mengundang tiga kemungkinan, yakni monopolisasi, kanalisasi, dan suplementasi. Monopolisasi (monopolization) artinya masyarakat tidak berdaya menghadapi media karena sudah dimonopoli media. Ini terjadi akibat tidak adanya upaya melawan propaganda yang dilakukan oleh media massa. Hal ini tidak hanya pada masyarakat dengan sistem otoriter tetapi juga di tiap masyarakat di mana tidak ada perlawanan terhadap suatu pandangan, nilai kebijakan, atau citra publik.
Kedua, kanalisasi (canalization). Kedua  pakar komunikasi tersebut memerhatikan bahwa iklan biasanya hanya berusaha untuk mencoba kanalisasi atau menyalurkan pada tingkah laku atau sikap yang sudah ada. Ketika seseorang akan menggosok giginya dia teringat sebuah merek produk yang secara terus menerus muncul di media dan meliputi benaknya. Ketika di kota-kota besar diberitakan ada aksi demo, di daerah pun demikian. Bahkan perilaku pejabat kota (misalnya)  yang kerap korupsi pun ditiru oleh pejabat di tingkat daerah. Di sini kanalisasi yang awalnya garapan periklanan bergeser ke ranah lainnya: politik, sosial, ekonomi, dan lainnya.
Ketiga, suplementasi (supplementation). Di sini, media massa yang tidak monopolistik maupun mengkanalisasi ternyata terbukti efektif juga. Suplementasi berarti media berkolaborasi dengan kelompok tertentu untuk menguatkan dominasinya, misalnya dalam acara talk show. Seorang tokoh masyarakat atau politikus atau siapa saja jika sudah berkolaborasi dengan media niscaya akan mampu membentuk opini publik yang diinginkan. Situasi seperti ini kini dimanfaatkan (salah satunya) oleh TV-One. Hampir setiap hari media ini mencoba menggiring opini publik untuk tujuan-tujuan tertentu. Ada CPNS  yang menolak pengangkatan CPNS karena dirasa tidak fair. Ada lagi santri yang mengadukan karena disiram air keras oleh salah seorang pengurus pesantren, dan lain-lain.
Kanalisasi Media
Menyangkut kanalisasi media, ada yang menarik akhir-akhir ini. Begitu kasus Prita Mulyasari mencuat, kontan berbagai media menayangkan dan memberitakannya terus menerus. Sekali lagi opini publik yang  tendensius memaksa khalayak terkanalisasi. Masyarakat suka atau tidak akan “dijuruskan” ikut membangun opini publik untuk memperjuangkan sesuatu. Dan Prita (kebetulan) sosok yang menjadi objek kanalisasi media sehingga mampu menggiring khalayak untuk menyumbang demi kebebasan Prita. Dari proses kanalisasi media ini ratusan juta koin terkumpul dan disalurkan kepada Prita untuk membayar kasus Prita.
Di sisi lain, berita kelangkaan minyak tanah, krisis pangan, dan bencana alam di beberapa wilayah Indonesia seolah menjadi bagian yang kurang penting dalam dinamika masyarakat Indonesia saat ini. Di banyak daerah masyarakat Indonesia kesulitan mendapatkan minyak tanah. Ingin menggunakan gas tidak ada, dan akhirnya berebut kayu bahan limbah dari pabrik (di Mojoketo). Ada juga kasus penjarahan pupuk karena petani sudah mulai kehilangan akal dalam menghadapi kelangkaan pupuk. Atau ada yang sengaja menampung air hujan karena pipa ledeng lama tak mengucur (PR, 3/2).

Maksud saya, berilah porsi yang seimbang dalam beberapa kasus. Media tv terutama, tampaknya sering mengarahkan masyarakat pada kanal tertentu. Sebaliknya, pada media cetak porsi berita masih cukup berimbang. Muatan berita skandal Century tampaknya sudah mulai tidak dikanalkan, mengingat berbagai kepentingan belum mampu menghasilkan keputusan yang melegakan banyak pihak. Justru wacana pemakzulan presiden dan wakilnya yang mencuat seolah memberi peluang agar media lari dari Century. Dan pemakzulan ini karena tidak semuanya menghendaki juga akhirnya deadlock. Akhirnya semuanya serba kabur, tidak jelas. Dan karena ‘garapan’ media juga tidak jelas maka masyarakat dikanalkan juga untuk tidak jelas.
Pendekatan Marxisme
Adanya proses kanalisasi media ini sebetulnya dampak dari pendekatan Teori Media Marxisme. Stuart Hall menampilkan pendekatan Marxisme kultural yang menganggap media massa sangat berpengaruh dalam membentuk kesadaran publik. Kulturalisme mengikuti strukturalisme Althusserian yang menolak ekonomisme. Namun,  tidak seperti strukturalisme, kulturalisme menekankan pada pengalaman aktual kelompok dalam masyarakat dan mengontekstualisasikan media ke dalam suatu masyarakat yang dipandang sebagai a complex expressive totality (Chandler, mengutip Curran et.al 1982 : 27). Masih menurut Curran, teoritisi Marxis berbeda dalam pertimbangan  mereka tentang determinasi media massa dan sifat serta kekuatan ideologi-ideologi media massa.
Kasus Qilqis kini yang menjadi target kanalisasi media. Bocah malang yang harus melakukan transpalasi hati ini memerlukan biaya Rp 1,3 miliar! Angka fantastik yang tidak mungkin bisa dikeluarkan dari kocek orang tuanya. Dan lagi-lagi media menganalkan publik untuk simpati dan menolong Bilqis. Dan hebatnya, dalam hitungan hari sudah terkumpul ratusan juta rupiah. Selain itu proses kanalisasi ini juga mengimbas pada Departemen Kesehatan RI yang ikut membantu proses operasi Bilqis di RS Karyadi Semarang.
Inilah (mungkin) yang saya sebut “ampuhnya kanalisasi media”. Setelah kasus Prita berhasil menganalisasi publik, kini publik dikanalisasikan untuk membantu penderitaan Bilqis. Dan nyatanya masyarakat Indonesia sangat peduli terhadap nasib sesamanya. Memang terkadang situasi ini dimanfaatkan oleh sekelompok orang atau segelintir pribadi untuk bisa tampil di media. Untuk yang kedua ini sebetulnya masuk sebagai praktik suplementasi media.
Jadi, kalau Lazarfeld dan Merton menganggap monolipolisasi, kanalisasi dan komplementasi merupakan bahaya media yang selalu mengintai, pada kasus ‘membantu orang kesulitan’ kanalisasi efeknya positif. Bayangkan, jika media tidak mengekpos Prita atau Bilqis mungkin Prita tidak bisa bebas dan Bilqis tetap menderita karena kelainan hati.
Implikasi lain dari kanalisasi media tersebut adalah munculnya kesadaran kolektif masyarakat Indonesia dengan sikap gotong royongnya. Secara matematis mobilisasi biaya dari masyarakat pada kasus Prita dan Bilqis berhasil. Nah, tinggal bagaimana media mengkombinasikan agenda media dengan pemilihan objek kanalisasi agar sikap paguyuban (gotong royong) masyarakat Indonesia tetap terjaga. Meskipun di lain kasus masyarakat dikanalisasikan sampai menjadi masyarakat patembayan (egois) yang hanya mementingkan diri, tapi ternyata masyarakat Indonesia masih memiliki budaya mulia.
Jika media mampu mengagendakan titik krusial yang terjadi di masyarakat dan mengkanalisasikan secara positif niscaya banyak persoalan masyarakat bisa teratasi dengan baik. Istilah hukumnya ‘jangan tebang pilih’. Jangan hanya memilih kasus-kasus tertentu saja yang dikanalisasikan sehingga mampu memobilisasi masyarakat untuk gotong roong. Gizi buruk, himpitan ekonomi yang menyebabkan kasus bunuh diri, korban PHK yang memprihatinkan, dan terakhir dampak liberalisasi perdagangan Indonesia-China. Inilah yang harus menjadi agenda media.


Pemberlakuan ACFTA mulai 2010 lambat laun akan memperlihatkan krisis multidimensi di negeri ini. Untuk mengantisipasinya meminjam teori Marxis tentang kulturalisme. Di sini kulturalisme menekankan pada pengalaman aktual kelompok dalam masyarakat dan mengontekstualisasikan media ke dalam suatu masyarakat yang dipandang sebagai a complex expressive totality. Lewat pendekatan ini proses kanalisasi media yang selama ini sudah dilakukan akan lebih efektif lagi. Karena bagaimana pun juga masih ada suara sumbang tentang ‘keberhasilan’ Prita dan Bilqis. Mereka berhasil karena menjadi objek yang diagendakan media.
Jadi, pengalaman aktual Prita dan Bilqis alangkah baiknya dikontektualisasikan media ke dalam masyarakat Indonesia saat ini. Seluruhnya. Karena, seperti ungkapan Curran, masyarakat kita sebagai a complex expressive totality. Inilah ampuhnya kanalisasi media.
*Penulis praktisi media, pengajar Ilmu Jurnalistik Fikom Unisba dan Fidkom UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
*Tulisan ini pernah dimuat di Pikiran Rakyat 10 Februari 2010

11:59 PM | 0 comments | Read More

INTERNET GRATIS

Kantor RW di Bandung akan Dipasang Akses Internet Gratis

Bandung - Pemkot Bandung bekerjasama dengan PT Telkom siap menyediakan akses jaringan internet gratis bagi masyarakat. Rencananya fasilitas tersebut mulai diluncurkan Oktober 2012 mendatang.

Hal tersebut diungkapkan Kabid Perencanaan Sosial, Budaya dan Kesra Bapeda Kota Bandung Soni Bakhtiyar usai kegiatan pemaparan RW-Net di Kantor Kecamatan Bandung Wetan, Jalan Tamansari, Selasa (24/7/2012).

"Infrastruktur sedang disiapkan. Jadi Oktober nanti internet bisa terlaksana," kata Soni.

Menurut Soni, secara teknis pihak PT Telkom menyiapkan fasilitas hotspot pada tiap RW yang tersebar se-Kota Bandung. Selain itu, menyediakan akses internet gratis di ruang publik semacam taman kota.

"Taman itu nantinya disebut taman pintar," terang Soni.

Menurut Soni, kerjasama antara Pemkot Bandung dan PT Telkom ini guna mewujudkan Bandung Cyber City yang fungsinya bermanfaat bagi masyarakat Bandung.

Sekda Kota Bandung Edi Siswadi menilai menyebarnya akses internet gratis hingga tingkat RW yang memanfaatkan hotspot merupakan terobasan baru di Indonesia. "Bahkan di dunia. Di London pun yang merupakan negara maju, tenyata baru terpikirkan," ucap Edi ditemui di tempat sama.

Edi berharap besar Bandung menjadi Cyber City segera terlaksana demi kepentingan warga Kota Bandung memperoleh akses informasi via internet.

"Sebanyak 1.563 kantor RW di Kota Bandung akan dipasang hotspot. Saya berharap kecanggihan teknologi ini dimanfaatkan dengan tujuan positif dan edukatif," tutur Edi.
Menurut Edi, hotspot di seluruh RW disediakan agar warga bisa mendapatkan akses informasi secara maksimal melalui jaringan internet. 
Keberadaan hotspot disetiap RW disinergikan dengan program RW-Net yang berfungsi sebagai e-payment atau pembayaran elektronik. "Sudah disinergikan dengan program sebelumnya RW-Net yang melakukan pembayaran elektronik seperti bayar iuran ke PD Pasar, PDAM juga bisa beli token PLN," ujar Edi. 
Menurut Edi, hadirnya RW-Net ini bisa menambah penghasilan bagi RW-RW yang melakukan pengelolaannya. 
Kehadiran RW-Net juga bisa mempermudah akses informasi antara warga dengan  pemangku kebijakan jajaran Pemkot Bandung. "Akses informasi yang disampaikan warga berupa keluhan dan masukan bisa dipantau langsung oleh wali kota, wakil dan tentunya sekda," ujar Edi.
Dengan begitu, pimpinan Pemkot Bandung pun bisa menilai kepala SKPD mana yang bisa merespons cepat mengenai keluhan warga tersebut.
Sementara itu, Kepala Bidang Perencanaan Sosial, Budaya dan Kesra Bappeda Kota Bandung Soni Bakhtiyar mengakui saat ini pihaknya bersama Telkom tengah menyiapkan segala infrastrukturnya. "Kita terus siapkan seluruh infrastruknya agar pada Oktober mendatang bisa tersinergikan dengan baik,"jelas Soni.
Selain RW Net, jelas Soni, Pemkot Bandung dan Telkom akan membuat taman pintar. "Kita bangun fasilitas internet di taman-taman kota yang sudah ada dan kita namakan dengan taman pintar," ujarnya. Menurutnya, semua perawatannya fasilitas tersebut sudah dijamin oleh Telkom.
10:45 PM | 0 comments | Read More