Dari Agrikultur ke Agribisnis
Menurut Prof. Mubyarto dan Awan
Santosa secara ringkas Davies dan Goldberg menguraikan tentang perlu
dikembangkannya paradigma baru pembangunan pertanian yang didasarkan pada
pendekatan sistem agribisnis. Paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh
Davies dan Goldberg, yang berdasar pada lima premis dasar agribisnis.
Pertama, adalah suatu kebenaran umum bahwa semua usaha
pertanian berorientasi laba (profit oriented), termasuk di Indonesia.
Kedua, pertanian adalah komponen rantai dalam sistem
komoditi, sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara
keseluruhan.
Ketiga, pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi
kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah
yang positif, bukan ideologis dan normatif.
Keempat, sistem agribisnis secara intrinsik netral
terhadap semua skala usaha, dan kelima, pendekatan sistem agribisnis
khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang. Rumusan inilah yang
nampaknya digunakan sebagai konsep pembangunan pertanian dari Departemen
Pertanian, yang dituangkan dalam visi terwujudnya perekonomian nasional yang
sehat melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan,
berkelanjutan, dan terdesentralisasi.
Ideologi Agribisnis
Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik)
dikritik pedas karena telah berubah
menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334),
bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian pertanian dijadikan bisnis,
sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya
bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian).
Maka di IPB dan UGM tidak dikembangkan program S2 Pertanian, tetapi
lebih dikembangkan program Magister atau MM Agribisnis, yang jika
diteliti substansi kuliah-kuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku
teks Amerika 2 dekade terakhir yang mengajarkan ideologi atau bahkan mendekati
“agama” baru bahwa “farming is business”.
Mengapa agribisnis? Ya, agribisnis
memang diangggap lebih modern dan lebih efisien karena lebih berorientasi pada
pasar, bukan hanya pada “komoditi yang dapat dihasilkan petani”. Perubahan dari
agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi
pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi
kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten sekalipun. Penggunaan
sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan “produksi”, termasuk
penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan
dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi
Sepintas paradigma agribisnis memang
menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun
jika kita kaji lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar
terhadap paradigma yang menjadi arah kebijakan Deptan tersebut. Sebuah
paradigma semestinya lahir dari akumulasi pemikiran yang berkembang di suatu
wilayah dan kelompok tertentu. Jadi sudah sewajarnya jika kita mempertanyakan,
apakah pengembangan paradigma agribisnis adalah hasil dari konsepsi dan
persepsi para petani kita? Lebih lanjut dapat kita kaji kembali apakah sudah
ada riset/penelitian mendalam, yang melibatkan partisipasi petani, berkaitan
dengan pola/sistem pertanian di wilayah mereka? Hal ini sangat penting karena
jangan-jangan paradigma agrisbisnis hanyalah dikembangkan secara topdown
dari pusat, yang tidak sesuai dengan visi desentralisasi sistem lokal, atau
lebih berbahaya lagi hanya mengadopsi paradigma dari luar (barat). Lebih tepat
apabila pemerintah berupaya untuk membantu menemukenali segala permasalahan
yang dihadapi petani dan bersama-sama mereka mengusahakan jalan keluarnya,
dengan memposisikan diri sebagai kekuatan pelindung petani. Selama ini masalah
yang muncul adalah anjloknya harga komoditi, kenaikan harga pupuk, dan
persaingan tidak sehat, yang lebih disebabkan oleh kekeliruan atau tidak
bekerjanya kebijakan atau peraturan (hukum) yang dibuat oleh pemerintah.
Paradigma Agribisnis yang Keliru
Asumsi utama paradigma agribisnis bahwa semua tujuan
aktivitas pertanian kita adalah profit oriented sangat menyesatkan.
Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsistem, dengan
mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah
petani-petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang
mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, ataupun ketela. Mencari
keuntungan adalah wajar dalam usaha pertanian, namun hal itu tidak dapat
dijadikan orientasi dalam setiap kegiatan usaha para petani. Petani kita pada
umumnya lebih mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan
dengan tradisi gotong royong (sambatan/kerigan) dalam kegiatan mereka.
Bertani bukan saja aktivitas ekonomi, melainkan sudah
menjadi budaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat
lokal. Sehingga perencanaan terhadap perubahan kegiatan pertanian harus pula
mempertimbangkan konsep dan dampak perubahan sosial-budaya yang akan terjadi.
Seperti halnya industrialisasi yang tanpa didasari transformasi sosial
terencana, telah menghasilkan dekadensi nilai moral, degradasi lingkungan,
berkembangnya paham kapitalisme dan individualisme, ketimpangan ekonomi, dan
marjinalisasi kaum petani dan buruh. Hal ini yang nampaknya tidak terlalu dikedepankan
dalam pengembangan paradigma pendekatan sistem agribisnis..Tidak semua kegiatan
pertanian dalam skala petani kecil dapat dibisniskan, seperti yang dilakukan
oleh petani-petani (perusahaan) besar di luar negeri, yang memiliki tanah luas
dan sistem nilai/budaya berbeda yang lain sekali dengan petani kita
Agriculture bisa berubah menjadi agribisnis seperti
halnya PT QSAR, jika usaha dan kegiatannya “menjanjikan keuntungan sangat
besar”, misalnya 50% dalam waktu kurang dari satu tahun, padahal tingkat bunga
bank rata-rata hanya sekitar 10%. Semangat mengejar untung besar dalam waktu
pendek inilah semangat dan sifat agribisnis yang dalam agriculture
(pertanian) suatu hal yang dianggap mustahil. Demikian tanpa disadari
pakar-pakar ekonomi pertanian terutama lulusan Amerika telah memasukkan budaya
Amerika ke (pertanian) Indonesia dengan janji atau teori bahwa agribisnis
lebih modern, lebih efisien, dan lebih menguntungkan ketimbang agriculture.
Itulah yang terjadi dengan PT QSAR yang mampu mengecoh banyak bapak-bapak dan
ibu-ibu “investor” untuk menanamkan modal ratusan juta rupiah, meskipun
akhirnya terbukti agribisnis PT QSAR merupakan ladang penipuan baru untuk
menjerat investor-investor “homo-ekonomikus” (manusia serakah) yang berfikir
“adalah bodoh menerima keuntungan rendah jika memang ada peluang memperoleh
keuntungan jauh lebih besar”. Di Indonesia homo-ekonomikus ini makin banyak
ditemukan sehingga seorang ketua ISEI pernah tanpa ragu menyatakan “orang
Indonesia dan orang Amerika sama saja”, mereka sama-sama “makhluk ekonomi”.
Konsep dan paradigma sistem agribisnis tidak akan
menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan
nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena
itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah
saatnya kita pertanyakan kembali. Paradigma agribisnis tentu saja sarat dengan
sistem nilai, budaya, dan ideologi dari tempat asalnya yang patut kita kaji
kesesuaiannya untuk diterapkan di negara kita. Masyarakat petani kita memiliki
seperangkat sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi)
mereka sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor
pertanian.
Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan
produksi ke orientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa
dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan tanpa
diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum,
persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan
mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah
suramnya nasib petani kita lebih banyak terjadi daripada sekadar contoh
keberhasilan perusahaan McDonald dalam memberi “order’ kelompok petani di Jawa
Barat. Industri gula dan usaha tani
tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor
yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984
kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang
subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik,
gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf.
Jika kesejahteraan petani
menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata pertanian
kini tidak banyak disebut-sebut? Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini
lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture.
Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap bernama Department
of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Doktor-doktor
Ekonomi Pertanian lulusan Amerika tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming
is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas
pertanyaan ini dapat ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di
Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di
Sukabumi yang kemudian bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood)
atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa
menjadi bisnis. [Artikel - Th. I - No. 1 - Maret 2002]
0 comments:
Post a Comment