Spiritualisme Mudik

Written By Unknown on Thursday, August 23, 2012 | 9:03 AM


         Spiritualisme Mudik

Sampai hari ke-4 lebaran diberitakan sudah 638 orang meninggal. Dari sejumlah korban paling banyak terjadi pada kecelakaan sepeda motor, yakni 3800. Dan seperti biasa, secara statistik masyarakat selalu penasaran dengan jumlah korban tewas atau luka selama masa mudik dan balik. Ya, tiap tahun kita menyaksikan korban berjatuhan atas nama mudik lebaran.
Dalam perspektif sosial, mudik sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu sebagai manifestasi sosial kemasyarakatan berkumpul di kampung halaman. Di udik mereka tidak hanya sekadar bertemu  keluarga, tapi handai taulan dan temen masa kecil. Di sini nilai sosial dikaitkan dengan status. Selama merantau apa yang sudah didapat? Inilah yang membuat apa pun resikonya masyarakat kita selalu mudik.
Mudik juga sebagai barometer keberhasilan seseorang setelah merantau. Maka, tak jarang teman sekampung menjadi tertarik ikut ke kota karena melihat kesuksesan yang telah diraih para pemudik. Bisa jadi kesuksesan semu, tapi sebagai barometer mudik menjadi daya pikat orang untuk ke kota mengadu nasib. Kesuksesan yang diraih bisa saja tidak murni karena dibalut kesemuan, tapi perasaan ingin bersama-sama secara sosiallah yang mendasari orang mengajak teman atau handai taulan ke kota. Toh, tiap tahun bisa pulang kampung!
Secara agamis, mudik sebagai perjalanan spiritual. Seseorang yang mudik bukan karena ingin memperlihatkan kesuksesan tapi semata untuk silaturahmi setelah merantau. Dalam perjalanan spiritual ini para pemudik menyiapkan segala sesuatunya, terutama oleh-oleh kota yang akan dipersembahkan untuk orangtua atau saudara. Berbagai upaya dilakukan agar mudik terlaksana, sampai menggunakan motor yang menantang maut pun dilakoni. Dengan niat silaturahmi ini keikhlasan menjadi landasan, sehingga para pemudik pantang menyerah untuk bisa bertemu orangtua di kampung.
Dalam perspektif agama perjalanan mudik semacam ini sebagai ‘jihad’ (dalam arti luas) karena dengan ikhlas ingin bersilaturahmi. Silaturahmi merupakan elemen penting dalam  muamalah islami karena selalu dianjurkan Rasulullah SAW. Kita mafhum, dalam ajaran Islam silaturahmi dapat memanjangkan usia dan menambah rezeki.  Sehingga untuk para korban meninggal saat mudik kita doakan menjadi ‘syuhada’ (meninggal dalam keadaan syahid). Ya, karena mereka berjihad ingin menegakkan silaturahmi kepada orangtua dan saudara di kampung. Amin.
Muncul berbagai sinyalemen mengenai banyaknya korban, diantaranya menyalahkan para korban karena ceroboh, tidak disiplin dan lainnya. Ada juga sinyalemen  menyudutkan pemerintah karena lalai memperhatikan keselamatan para pemudik. Jika kecelakaan terjadi menimpa kalangan atas (kaya), misalnya kecelakaan pesawat terbang, negeri ini heboh. Birokrat dan politisi muncul ingin memperlihatkan kepeduliannya demi publisitas.Tapi manakala yang kecelakaan orang kecil (miskin) seolah dianggap angin lalu. Ratusan orang meninggal seolah hanya insiden tahunan mudik yang tak perlu menjadi sorotan.
Namun, lepas dari berbagai sinylemen tersebut, sampai kapan pun mudik akan tetap berlangsung dari tahun ke tahun karena dua aspek tadi: sosial dan agamis. Dan masyarakat di mana pun tidak bisa lepas dari dua aspek tadi karena mereka punya kekayaan hakiki yang tidak bisa diukur dengan materi, yakni sosial dan religi. Di sinilah makna mudik sebagai perjalanan spiritual. Mereka menggunakan segala cara untuk bisa mudik tidak semata sebagai kegiatan sosial tapi sudah melekat ke dalam kebutuhan ruhani. Kebutuhan spritual. Kebutuhan agama. (Askurifai Baksin)

0 comments:

Post a Comment