Sampai
hari ke-4 lebaran diberitakan sudah 638 orang meninggal. Dari sejumlah korban
paling banyak terjadi pada kecelakaan sepeda motor, yakni 3800. Dan seperti
biasa, secara statistik masyarakat selalu penasaran dengan jumlah korban tewas
atau luka selama masa mudik dan balik. Ya, tiap tahun kita menyaksikan korban
berjatuhan atas nama mudik lebaran.
Dalam
perspektif sosial, mudik sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu sebagai
manifestasi sosial kemasyarakatan berkumpul di kampung halaman. Di udik mereka
tidak hanya sekadar bertemu keluarga,
tapi handai taulan dan temen masa kecil. Di sini nilai sosial dikaitkan dengan
status. Selama merantau apa yang sudah didapat? Inilah yang membuat apa pun
resikonya masyarakat kita selalu mudik.
Mudik
juga sebagai barometer keberhasilan seseorang setelah merantau. Maka, tak
jarang teman sekampung menjadi tertarik ikut ke kota karena melihat kesuksesan
yang telah diraih para pemudik. Bisa jadi kesuksesan semu, tapi sebagai
barometer mudik menjadi daya pikat orang untuk ke kota mengadu nasib. Kesuksesan
yang diraih bisa saja tidak murni karena dibalut kesemuan, tapi perasaan ingin
bersama-sama secara sosiallah yang mendasari orang mengajak teman atau handai
taulan ke kota. Toh, tiap tahun bisa pulang kampung!
Secara
agamis, mudik sebagai perjalanan spiritual. Seseorang yang mudik bukan karena
ingin memperlihatkan kesuksesan tapi semata untuk silaturahmi setelah merantau.
Dalam perjalanan spiritual ini para pemudik menyiapkan segala sesuatunya,
terutama oleh-oleh kota yang akan dipersembahkan untuk orangtua atau saudara.
Berbagai upaya dilakukan agar mudik terlaksana, sampai menggunakan motor yang
menantang maut pun dilakoni. Dengan niat silaturahmi ini keikhlasan menjadi
landasan, sehingga para pemudik pantang menyerah untuk bisa bertemu orangtua di
kampung.
Dalam
perspektif agama perjalanan mudik semacam ini sebagai ‘jihad’ (dalam arti luas) karena dengan ikhlas ingin bersilaturahmi.
Silaturahmi merupakan elemen penting dalam
muamalah islami karena selalu
dianjurkan Rasulullah SAW. Kita mafhum, dalam ajaran Islam silaturahmi dapat
memanjangkan usia dan menambah rezeki. Sehingga untuk para korban meninggal saat
mudik kita doakan menjadi ‘syuhada’
(meninggal dalam keadaan syahid). Ya,
karena mereka berjihad ingin menegakkan silaturahmi kepada orangtua dan saudara
di kampung. Amin.
Muncul
berbagai sinyalemen mengenai banyaknya korban, diantaranya menyalahkan para
korban karena ceroboh, tidak disiplin dan lainnya. Ada juga sinyalemen menyudutkan pemerintah karena lalai
memperhatikan keselamatan para pemudik. Jika kecelakaan terjadi menimpa
kalangan atas (kaya), misalnya kecelakaan pesawat terbang, negeri ini heboh.
Birokrat dan politisi muncul ingin memperlihatkan kepeduliannya demi publisitas.Tapi
manakala yang kecelakaan orang kecil (miskin) seolah dianggap angin lalu. Ratusan
orang meninggal seolah hanya insiden tahunan mudik yang tak perlu menjadi
sorotan.
Namun,
lepas dari berbagai sinylemen tersebut, sampai kapan pun mudik akan tetap
berlangsung dari tahun ke tahun karena dua aspek tadi: sosial dan agamis. Dan
masyarakat di mana pun tidak bisa lepas dari dua aspek tadi karena mereka punya
kekayaan hakiki yang tidak bisa diukur dengan materi, yakni sosial dan religi.
Di sinilah makna mudik sebagai perjalanan spiritual. Mereka menggunakan segala
cara untuk bisa mudik tidak semata sebagai kegiatan sosial tapi sudah melekat
ke dalam kebutuhan ruhani. Kebutuhan spritual. Kebutuhan agama. (Askurifai
Baksin)
0 comments:
Post a Comment