Dialog Manusia dan Lingkungan

Written By Unknown on Saturday, September 1, 2012 | 9:17 AM


 
Dialog Manusia dan Lingkungan

*Kiki Zakiah, Dra.,M.Si

            Interaksi antara manusia dengan lingkungan terus berlanjut. Masyarakat terpilah antara yang menyadari dan tidak menyadari atau bahkan tidak peduli bahwa merusak lingkungan ternyata sama halnya tidak memikirkan masa depan lingkungan yang pada gilirannya akan merusak sistem sosial manusia, cepat atau lambat. Oleh sebab itu faktor kesadaran lingkungan (ecological awareness) amat penting dipunyai oleh manusia secara bersama. Hal ini karena kesadaran lingkungan  menjadi stimuli yang cukup cerdas bagi kemunculan paham-paham anti tesis yang juga melawan antroposentrisme.    

Manusia setidaknya mempunyai tiga pandangan tertentu terhadap alam. Pandangan tersebut menjadi landasan bagi tindakan dan perilaku manusia terhadap alam. Pandangan tersebut dibahas dalam tiga teori, yaitu Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics.  Ketiga teori ini dikenal juga sebagai Antroposentrisme, Biosentrisme, dan Ekosentrisme.

            Antroposentrisme berasal dari kata antropos yang artinya manusia. Suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Pandangan ini berisi pemikiran bahwa segala kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup harus dinilai berdasarkan  manusia dan kepentingannya. Hal ini disebabkan manusia adalah pusat pemikiran maka kebijakan terhadap alam harus diarahkan untuk mengabdi pada kepentingan manusia. Alam dilihat hanya sebagai objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Dengan demikian alam dilihat tidak mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Alam dipandang dan diperlakukan hanya sebagai alat bagi pencapaian tujuan manusia.

            Antroposentrisme dituduh sebagai salah satu penyebab terjadinya krisis lingkungan hidup. Pandangan inilah yang telah menyebabkan manusia berani melakukan tindakan eksploitatif terhadap alam, dengan menguras kekayaan alam demi kepentingannya. Meskipun banyak kritik dilontarkan terhadap teori antroposentrisme, namun justru dengan teori ini timbul pengembangan sikap kepedulian terhadap alam. Manusia membutuhkan lingkungan hidup yang baik, demi kepentingan hidupnya, manusia memiliki kewajiban memelihara dan melestarikan alam lingkungannya.

            Biosentrisme adalah suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Dengan demikian, biosentrisme menolak teori antroposentrisme yang menyatakan bahwa hanya manusialah yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Teori biosentrisme berpandangan bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia saja. Biosentrisme mengajarkan tentang hidup dengan menghargai banyak spesies.

            Ada banyak hal dan jenis makhluk yang memiliki kehidupan. Pandangan biosentrisme mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan baik pada manusia atau pada makhluk hidup lainnya. Kehidupan adalah pusat perhatian dan harus dibela maka secara moralitas berlaku prinsip bahwa setiap kehidupan di muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama, sehingga harus diindungi dan diselamatkan. Oleh karena itu, kehidupan setiap makhluk hidup pantas dipertimbangkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari pertimbangan untung rugi bagi kepentingan manusia.

            Biosentrisme menekankan kewajiban terhadap alam bersumber dari pertimbangan bahwa kehidupan adalah sesuatu yang bernilai, baik kehidupan manusia maupun spesies lain di bumi ini. Biosentrisme melihat  alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai dalam dirinya sendiri.  Alam mempunyai nilai justru karena ada kehidupan yang terkandung di dalamnya. Manusia dilihat sebagai salah satu bagian saja dari keseluruhan kehidupan yang ada di bumi, dan bukan merupakan pusat dari seluruh alam semesta. Maka secara biologis manusia tidak ada bedanya dengan makhluk hidup lainnya.

            Teori biosentrisme disebut juga intermediate environmenthal ethics, harus dimengerti dengan baik, khususnya menyangkut kedudukan manusia dan makhluk hidup yang lain di bumi. Pada intinya teori biosentrisme berpusat pada komunitas biotis dan seluruh kehidupan yang ada di dalamnya. Manusia tidak mengorbankan kehidupan lainnya begitu saja atas dasar pemahaman bahwa alam dan segala isinya tidak bernilai dalam dirinya sendiri.

            Ekosentrisme mendasarkan pada pemahaman bahwa secara ekologis, baik makhluk hidup maupun benda-benda abiotis saling terkait satu sama lain. Air di sungai, yang termasuk abiotis sangat menentukan kehidupan yang ada di dalamnya. Udara walaupun tidak termasuk makhluk hidup. Dan begitu seterusnya. Jadi ekosentrisme selain sejalan dengan biosentrisme – di mana keduanya sama dalam menentang pandangan antroposentrisme – juga mencakup komunitas yang lebih luas, yakni komunitas ekologis seluruhnya. Jadi, ekosentrisme menuntut tanggung jawab moral yang sama untuk seluruh realitas biologis.

            Ekosentrisme, disebut juga deep environmental ethics. Perhatian dari teori ini bukan hanya berpusat pada manusia melainkan pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep ecology memusatkan perhatian kepada semua makhluk hidup di bumi, bukan hanya demi kepentingan jangka pendek, melainkan seluruh komunitas ekologi.

            Deep Ecology menganut prinsip biospheric egolitarianism, yaitu pengakuan bahwa seluruh organism dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Ini menyangkut suatu pengakuan bahwa hak untuk hidup dan berkembang untuk semua (baik hayati maupun nonhayati) adalah sebuah hak universal yang tidak bisa diabaikan.

            Sikap deep ecology terhadap lingkungan sangat jelas, yaitu tidak hanya memusatkan perhatian pada dampak pencemaran bagi kesehatan manusia, tetapi juga pada kehidupan secara keseluruhan. Alam harus dipandang juga dari segi nilai dan fungsi budaya, sosial, spiritual, media, dan biologis.

Dialog Manusia dan Lingkungan

Dialog manusia dan lingkungan menunjukkan adanya interaksi diantara keduanya. Dalam perspektif komunikasi baik manusia maupun lingkungan dapat berganti peran komunikasi. Keduanya dapat berperan sebagai komunikator, komunikan, dan bahkan sebagai media.

Konsep environmental determinism yang mendasarkan kondisi lingkungan sangat berperan dalam membentuk pola pikir, rasa dan pola tindak (kebudayaan), menempatkan lingkungan sebagai komunikator yang berdialog dengan manusia dalam pola satu arah. Konsep environmental determinism menempatkan manusia sebagai objek dari lingkungan. Teori yang tepat untuk menggambarkan hal tersebut adalah SOR. Bahkan ketika lingkungan menjadi media dari sang Pencipta dan tingkah laku manusia akan sejalan dengan sikap lingkungan maka teori yang tepat menggambarkan fenomena ini adalah agenda setting. Dialog yang tercipta antara manusia dan lingkungan, dilihat dari SOR dan Agenda Setting, menggambarkan pola pikir, rasa dan pola tindak manusia yang selalu selaras dengan lingkungan; memelihara lingkungan hidup, kebersihan lingkungan, dan menjaga keselamatan lingkungan. Apa yang dianggap baik oleh lingkungan maka akan diupayakan kebaikan itu menjadi yang penting dalam kehidupan manusia.

Pola pikir, rasa, dan tingkah laku manusia terhadap lingkungan seperti itu hanya ada pada masyarakat tribal atau masyarakat tradisional. Sebetulnya ketika jaman Mesir Kuno, di mana masyarakatnya sudah mencapai puncak kebudayaan atau yang disebut peradaban, sikap mereka terhadap lingkungan amat menjunjung tinggi. Hal ini tergambar dalam karya besar berupa piramida yang dirancang untuk dapat membaca peredaran bintang sebagai dasar dalam pertanian dan kehidupan sosial lainnya. Hanya saja, komunikasi manusia yang efektif dengan lingkungan tidak disertai komunikasi yang selaras dengan sesama manusia sehingga akhirnya kejayaan peradaban Mesir Kuno tidak berkembang ke arah puncak kehidupan manusia yang paling baik tapi seolah berhenti dan tidak berkembang lagi.

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama di kalangan ahli antropologi Amerika, muncul pemikiran yang berlawanan. Kaum possibilism berpendapat bahwa pada hakikatnya perilaku dalam suatu kebudayaan dipilih secara selektif, atau jika tidak, secara tak terduga merupakan hasil adaptasi dengan lingkungan. Kaum possibilis berpendapat bahwa suatu lingkungan tertentu tidak dapat dipandang sebagai sebab utama perbedaan kebudayaan melainkan sebagai pembatas atau penyeleksi. Artinya, lingkungan hanya akan berperan jadi komunikator atau sumber komunikasi sebatas manusia memilihnya, atau perilaku manusia merupakan hasil adaptasi dengan lingkungan. Dalam konsep posibilisme, dialog manusia dan lingkungan terjadi secara seimbang, namun inisiatif komunikasi ada pada manusia. Komunikasi manusia dengan lingkungan seperti ini, menggambarkan masyarakat yang hidup bersama lingkungan alam. Lingkungan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan menerapkan etika alam. Artinya, manusia memelihara lingkungan alam mengingat manusia membutuhkan lingkungan alam sepanjang hidupnya yang terus berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dalam teori komunikasi hubungan manusia dengan lingkungan alam seperti ini digambarkan dalam model Shanon and Weaver. Proses komunikasi dimulai dengan adanya suatu sumber informasi (I-S). Manusia sebagai sumber informasi membentuk pesan (M) berbentuk tindakan (S) yang dikomunikasikan melalui pemanfaatan lingkungan dan pemeliharaannya (T). Tindakan pemanfaatan lingkungan alam oleh manusia diterima lingkungan sebagai sasaran komunikasi dan dalam praktiknya selalu ada noise (gangguan) berupa cara pemanfaatan lingkungan yang semena-mena yang dapat merusak hubungan selanjutnya antara manusia dan lingkungan berupa banjir dan lainnya. Oleh sebab itu gangguan harus segera diatasi agar komunikasi manusia dan lingkungan alam efektif untuk selamanya.

            Dari segi sosiologi, pandangan Antroposentris di mana manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta, sehingga segala kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup harus dinilai berdasarkan manusia dan kepentingannya. Dalam komunikasi fenomena seperti ini digambarkan dalam teori Jarum Hipodermik, di mana manusia mempunyai kekuatan luar biasa dalam pemanfaatan lingkungan alam sebagai tubuh yang terdiri atas berbagai spesies. Hal ini disebabkan manusia adalah pusat pemikiran maka kebijakan terhadap alam harus diarahkan untuk mengabdi pada kepentingan manusia. Lingkungan alam dilihat sebagai sasaran/ objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia.

            Pandangan sosiologis lainnya tentang manusia dan kedudukan lingkungan alam adalah Biosentrisme. Komunikasi menggambarkannya dalam model keseimbangan Newcomb. Manusia dan lingkungan mempunyai kedudukan yang sama sebagai entitas kehidupan, dan kehidupan itulah yang mempunyai nilai. Komunikasi manusia dan lingkungan alam selalu berusaha diseimbangkan demi kehidupan yang berkelanjutan.

            Sedangkan pandangan sosiologis lainnya adalah Ekosentrisme memusatkan pada pengakuan bahwa seluruh organism dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu kehidupan. Lingkungan alam harus dipandang juga dari segi nilai dan fungsi budaya, sosial, media, dan biologis. Komunikasi manusia dan lingkungan alam terjadi tidak sekadar interaktif tapi transaksional dan dinamis, sehingga yang ditata dalam hal ini adalah seluruh hubungan yang terjalin diantara entitas (baik hayati maupun nonhayati), tidak sekadar seimbang namun dikembangkan kemampuan positif dari hubungan tersebut.

*Penulis adalah Staf Pengajar Bidang Kajian Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung

0 comments:

Post a Comment