Dialog Manusia dan Lingkungan
*Kiki Zakiah, Dra.,M.Si
Interaksi
antara manusia dengan lingkungan terus berlanjut. Masyarakat terpilah antara
yang menyadari dan tidak menyadari atau bahkan tidak peduli bahwa merusak
lingkungan ternyata sama halnya tidak memikirkan masa depan lingkungan yang
pada gilirannya akan merusak sistem
sosial manusia, cepat atau
lambat. Oleh sebab itu faktor
kesadaran lingkungan (ecological
awareness) amat penting dipunyai oleh manusia secara bersama. Hal ini
karena kesadaran lingkungan menjadi
stimuli yang cukup cerdas bagi kemunculan paham-paham anti tesis yang juga
melawan antroposentrisme.
Manusia
setidaknya mempunyai tiga pandangan tertentu terhadap alam. Pandangan tersebut
menjadi landasan bagi tindakan dan perilaku manusia terhadap alam. Pandangan
tersebut dibahas dalam tiga teori, yaitu Shallow
Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini dikenal juga sebagai Antroposentrisme, Biosentrisme, dan Ekosentrisme.
Antroposentrisme
berasal dari kata antropos yang
artinya manusia. Suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem
alam semesta. Pandangan ini berisi pemikiran bahwa segala kebijakan yang
diambil mengenai lingkungan hidup harus dinilai berdasarkan manusia dan kepentingannya. Hal ini
disebabkan manusia adalah pusat pemikiran maka kebijakan terhadap alam harus
diarahkan untuk mengabdi pada kepentingan manusia. Alam dilihat hanya sebagai
objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Dengan
demikian alam dilihat tidak mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Alam
dipandang dan diperlakukan hanya sebagai alat bagi pencapaian tujuan manusia.
Antroposentrisme dituduh
sebagai salah satu penyebab terjadinya krisis lingkungan hidup. Pandangan inilah
yang telah menyebabkan manusia berani melakukan tindakan eksploitatif terhadap
alam, dengan menguras kekayaan alam demi kepentingannya. Meskipun banyak kritik
dilontarkan terhadap teori antroposentrisme, namun justru dengan teori ini
timbul pengembangan sikap kepedulian terhadap alam. Manusia membutuhkan
lingkungan hidup yang baik, demi kepentingan hidupnya, manusia memiliki
kewajiban memelihara dan melestarikan alam lingkungannya.
Biosentrisme adalah suatu pandangan yang
menempatkan alam sebagai yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri, lepas dari
kepentingan manusia. Dengan demikian, biosentrisme
menolak teori antroposentrisme yang
menyatakan bahwa hanya manusialah yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri.
Teori biosentrisme berpandangan bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia saja.
Biosentrisme mengajarkan tentang hidup dengan menghargai banyak spesies.
Ada
banyak hal dan jenis makhluk yang memiliki kehidupan. Pandangan biosentrisme
mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan baik pada manusia atau pada
makhluk hidup lainnya. Kehidupan adalah pusat perhatian dan harus dibela maka
secara moralitas berlaku prinsip bahwa setiap kehidupan di muka bumi ini
mempunyai nilai moral yang sama, sehingga harus diindungi dan diselamatkan.
Oleh karena itu, kehidupan setiap makhluk hidup pantas dipertimbangkan secara
serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari
pertimbangan untung rugi bagi kepentingan manusia.
Biosentrisme
menekankan kewajiban terhadap alam bersumber dari pertimbangan bahwa kehidupan
adalah sesuatu yang bernilai, baik kehidupan manusia maupun spesies lain di
bumi ini. Biosentrisme melihat alam dan
seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai dalam dirinya sendiri. Alam mempunyai nilai justru karena ada
kehidupan yang terkandung di dalamnya. Manusia dilihat sebagai salah satu
bagian saja dari keseluruhan kehidupan yang ada di bumi, dan bukan merupakan
pusat dari seluruh alam semesta. Maka secara biologis manusia tidak ada bedanya
dengan makhluk hidup lainnya.
Teori
biosentrisme disebut juga intermediate environmenthal
ethics, harus dimengerti dengan baik, khususnya menyangkut kedudukan manusia dan
makhluk hidup yang lain di bumi. Pada intinya teori biosentrisme berpusat pada
komunitas biotis dan seluruh kehidupan yang ada di dalamnya. Manusia tidak
mengorbankan kehidupan lainnya begitu saja atas dasar pemahaman bahwa alam dan
segala isinya tidak bernilai dalam dirinya sendiri.
Ekosentrisme mendasarkan pada pemahaman
bahwa secara ekologis, baik makhluk hidup maupun benda-benda abiotis saling
terkait satu sama lain. Air di sungai, yang termasuk abiotis sangat menentukan
kehidupan yang ada di dalamnya.
Udara walaupun tidak termasuk makhluk hidup. Dan begitu seterusnya. Jadi
ekosentrisme selain sejalan dengan biosentrisme – di mana keduanya sama dalam menentang pandangan
antroposentrisme – juga mencakup komunitas yang lebih luas, yakni komunitas
ekologis seluruhnya. Jadi,
ekosentrisme menuntut tanggung jawab moral yang sama untuk seluruh realitas
biologis.
Ekosentrisme, disebut juga deep environmental ethics. Perhatian
dari teori ini bukan hanya berpusat pada manusia melainkan pada makhluk hidup
seluruhnya dalam kaitan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Manusia
bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep
ecology memusatkan perhatian kepada semua makhluk hidup di bumi, bukan hanya demi kepentingan
jangka pendek, melainkan seluruh komunitas ekologi.
Deep Ecology menganut prinsip biospheric egolitarianism, yaitu
pengakuan bahwa seluruh organism dan makhluk
hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait
sehingga mempunyai martabat yang sama. Ini menyangkut suatu pengakuan bahwa hak
untuk hidup dan berkembang untuk semua (baik hayati maupun nonhayati) adalah
sebuah hak universal yang tidak bisa diabaikan.
Sikap
deep ecology terhadap lingkungan
sangat jelas, yaitu tidak hanya memusatkan perhatian pada dampak pencemaran bagi
kesehatan manusia, tetapi juga pada kehidupan secara keseluruhan. Alam harus
dipandang juga dari segi nilai dan fungsi budaya, sosial, spiritual, media,
dan biologis.
Dialog
Manusia dan Lingkungan
Dialog manusia
dan lingkungan menunjukkan adanya interaksi diantara keduanya. Dalam perspektif komunikasi
baik manusia maupun lingkungan dapat berganti peran komunikasi. Keduanya dapat berperan
sebagai komunikator, komunikan, dan bahkan sebagai media.
Konsep
environmental determinism yang
mendasarkan kondisi lingkungan sangat
berperan dalam membentuk pola pikir, rasa dan pola tindak (kebudayaan),
menempatkan lingkungan sebagai komunikator yang berdialog dengan manusia dalam
pola satu arah. Konsep environmental
determinism menempatkan manusia sebagai objek dari lingkungan. Teori yang
tepat untuk menggambarkan hal tersebut adalah SOR. Bahkan ketika lingkungan
menjadi media dari sang Pencipta dan tingkah laku manusia akan sejalan dengan
sikap lingkungan maka teori yang tepat menggambarkan fenomena ini adalah agenda setting. Dialog yang tercipta
antara manusia dan lingkungan, dilihat dari SOR dan Agenda Setting,
menggambarkan pola pikir, rasa dan pola tindak manusia yang selalu selaras
dengan lingkungan; memelihara lingkungan hidup, kebersihan lingkungan, dan
menjaga keselamatan lingkungan. Apa yang dianggap baik oleh lingkungan maka
akan diupayakan kebaikan itu menjadi yang penting dalam kehidupan manusia.
Pola pikir, rasa, dan tingkah laku
manusia terhadap lingkungan seperti itu hanya ada pada masyarakat tribal atau
masyarakat tradisional. Sebetulnya ketika jaman Mesir Kuno, di mana masyarakatnya
sudah mencapai puncak kebudayaan atau yang disebut peradaban, sikap mereka
terhadap lingkungan amat menjunjung tinggi. Hal ini tergambar dalam karya besar
berupa piramida yang dirancang untuk dapat membaca peredaran bintang sebagai
dasar dalam pertanian dan kehidupan sosial
lainnya. Hanya saja, komunikasi manusia yang efektif dengan lingkungan tidak
disertai komunikasi yang selaras dengan sesama manusia sehingga akhirnya
kejayaan peradaban Mesir Kuno tidak berkembang ke arah puncak kehidupan manusia
yang paling baik tapi seolah berhenti dan tidak berkembang lagi.
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama di kalangan
ahli antropologi Amerika, muncul pemikiran yang berlawanan. Kaum possibilism berpendapat bahwa pada hakikatnya perilaku dalam
suatu kebudayaan dipilih secara selektif, atau jika tidak, secara tak terduga
merupakan hasil adaptasi dengan lingkungan. Kaum possibilis berpendapat bahwa suatu lingkungan tertentu tidak dapat
dipandang sebagai sebab utama perbedaan kebudayaan melainkan sebagai pembatas
atau penyeleksi. Artinya, lingkungan hanya akan berperan jadi komunikator atau
sumber komunikasi sebatas manusia memilihnya, atau perilaku manusia merupakan
hasil adaptasi dengan lingkungan. Dalam konsep posibilisme, dialog manusia dan
lingkungan terjadi secara seimbang, namun inisiatif komunikasi ada pada manusia.
Komunikasi manusia dengan lingkungan seperti ini, menggambarkan masyarakat yang
hidup bersama lingkungan alam. Lingkungan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
manusia dengan menerapkan etika alam. Artinya, manusia memelihara lingkungan alam
mengingat manusia membutuhkan lingkungan alam sepanjang hidupnya yang terus
berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam teori komunikasi hubungan manusia dengan
lingkungan alam seperti ini digambarkan dalam model Shanon and Weaver. Proses
komunikasi dimulai dengan adanya suatu sumber informasi (I-S). Manusia sebagai
sumber informasi membentuk pesan (M) berbentuk tindakan (S) yang dikomunikasikan
melalui pemanfaatan lingkungan dan pemeliharaannya (T). Tindakan pemanfaatan
lingkungan alam oleh manusia diterima lingkungan sebagai sasaran komunikasi dan
dalam praktiknya
selalu ada noise (gangguan) berupa cara
pemanfaatan lingkungan yang semena-mena
yang dapat merusak hubungan selanjutnya antara manusia dan lingkungan berupa
banjir dan lainnya. Oleh sebab itu
gangguan harus segera diatasi agar komunikasi manusia dan lingkungan alam
efektif untuk selamanya.
Dari
segi sosiologi, pandangan Antroposentris di mana manusia sebagai
pusat dari sistem
alam semesta, sehingga segala kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup
harus dinilai berdasarkan manusia dan kepentingannya. Dalam komunikasi fenomena
seperti ini digambarkan dalam teori Jarum Hipodermik, di mana manusia mempunyai
kekuatan luar biasa dalam pemanfaatan lingkungan alam sebagai tubuh yang
terdiri atas berbagai spesies. Hal
ini disebabkan manusia adalah pusat pemikiran maka kebijakan terhadap alam
harus diarahkan untuk mengabdi pada kepentingan manusia. Lingkungan alam
dilihat sebagai sasaran/ objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan manusia.
Pandangan
sosiologis lainnya tentang manusia dan kedudukan lingkungan alam adalah
Biosentrisme. Komunikasi menggambarkannya dalam model keseimbangan Newcomb.
Manusia dan lingkungan mempunyai kedudukan yang sama sebagai entitas kehidupan,
dan kehidupan itulah yang mempunyai nilai. Komunikasi manusia dan lingkungan
alam selalu berusaha diseimbangkan demi kehidupan yang berkelanjutan.
Sedangkan
pandangan sosiologis lainnya adalah Ekosentrisme memusatkan pada pengakuan
bahwa seluruh organism dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya
dari suatu kehidupan. Lingkungan alam harus dipandang juga dari segi nilai dan
fungsi budaya, sosial,
media, dan biologis. Komunikasi manusia dan lingkungan alam terjadi tidak sekadar interaktif tapi
transaksional dan dinamis, sehingga yang ditata dalam hal ini adalah seluruh
hubungan yang terjalin diantara entitas (baik hayati maupun nonhayati), tidak
sekadar seimbang namun dikembangkan kemampuan positif dari hubungan
tersebut.
*Penulis
adalah Staf Pengajar Bidang Kajian Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Bandung
0 comments:
Post a Comment