Catatan Film: Masa Depan Film Indie di Bioskop Digital
MARAKNYA produksi film indie di kalangan mahasiswa menjadi fenomena yang cukup menarik. Dunia akademik yang awalnya enggan menerjuni wilayah perfilman kini semakin bergairah memberikan kesempatan kepada siswa dan mahasiswanya untuk menggeluti film. Tampaknya ini angin segar bagi para pegiat kine klub di kampus-kampus. Pasalnya, jika kine klub sebelumnya hanya sebatas kegiatan wacana dan diskusi, kini sudah melebar hingga produksi.
Mengamati perkembangan film indie tidak bisa
lepas dari jasa para perintisnya, yakni kalangan IKJ. Juga tak kalah
penting kontribusi Konfiden (Komunitas Film Independen) serta SCTV yang
sudah dua kali menggelar FFI (Festival Film Independen). Selain itu
beberapa perguruan tinggi juga ikut memicu maraknya produksi film indie ini.
Sebut saja ITB yang pernah menggelar Festival Film Pendek di Pasar
Seni 2000. Ditambah Fikom Unisba dan Stufvi Bandung (Studi Film dan Televisi) yang sering mengadakan
pelatihan produksi film indie.
Di jalur dokumenter, Indoc (Indonesia
Documenter) rajin mensosialisasikan film dokumenter. Sudah beberapa kali
Indoc yang donaturnya Ford Foundation mengadakan pelatihan film
dokumenter ini. Jadi lengkaplah sudah usaha-usaha mengembangkan perfilman
nasional lewat jalur indie. Bisakah jalur indie ini membangkitkan kembali
perfilman nasional?
Tiga Serangkai
Tiga aspek yang menurut Doni Kusen (PD III
FFTV-IKJ) menjadi tradisi kalangan film mayor (industri) di Hollywood, yakni
produksi, distribusi dan tempat previewing (bioskop). Di Hollywood
konsep ini sudah menjadi pakem bisnis mereka, sehingga banyak studio besar
seperti Warners Brothers, Tri Star, 21 Century, Walt Disney, Touchstone,
dan lainnya mampu bertahan dan melenggang hingga sekarang. Sementara di banyak
negara lain, termasuk Indonesia, konsep ini belum sepenuhnya ada, sehingga
perkembangan filmnya selalu labil. Untuk urusan produksi hampir semua negara
bisa. Juga faktor distribusi bisa saja suatu negara mengekspornya ke negara-negara
lainnya. Namun gedung bioskop tempat mempertontonkan tidak tersedia.
Pemilik gedung bioskop sangat selektif secara bisnis menentukan film-film apa
saja yang bisa tayang. Di perfilman Hollywood studio besar selalu
memiliki ketiganya sehingga ketika sebuah karya film sudah diproduksi dan
didistribusikan, mereka juga bisa memutarnya di bioskop sendiri. Dari
sinilah di Hollywood mengusung karya audio visual ini dalam
perspektif industri.
Bicara soal film kita bisa melihatnya dari
tiga perspektif, yakni sinema, film, dan movie. Mengapa harus
dibedakan menjadi tiga, padahal toh selama ini orang memandangnya
sama. Ada perbedaan pengertian diantara ketiganya. Pertama, sinema. Disebut
sinema karena karya ini merupakan hasil akhir dari proses kreatif
sinematografi, yakni suatu keterampilan menciptakan dan menyusun scene-scene
(adegan) yang terdiri atas shot-shot dan tersusun dalam sebuah
skenario menjadi satu kesatuan utuh yang menarik ditonton dan mengandung
satu pengertian. Sinema ini pada awalnya dikemas dalam format film seluloid
(8 mm, 16 mm, dan 35 mm) dan cenderung menggunakan proses kimiawi untuk melihat
hasil akhirnya. Dengan ditemukannya kamera video ENG (Electronic News
Gathering) yang prosesnya lebih banyak menggunakan alat elektronis maka
lahirlah sinema elektronik (sinetron). Jadi sinetron adalah produk
sinematografi yang proses kreatifnya menggunakan alat elektronik (seperti
kamera dan alat editing), formatnya video serta penayangannya di layar
kaca. Hanya dalam perkembangnnya kini antara kamera film dengan kamera video
sudah saling mengisi, karena keduanya bisa ditransfer (kinestransfer).
Kedua, film. Orang menyebut film karena merupakan
karya audio visual, baik menggunakan pita kaset video maupun film seluloid yang
sudah dapat dinikmati setelah melalui proses pentahapan pra produksi (riset,
ide, sinopsis, treatment, skenario), produksi (syuting) dan pasca
produksi (editing, titleling, dan finishing). Dan ketiga movie,
yakni hasil akhir dari proses pembuatan film dengan menggunakan seluruh kaidah
sinematografi dan sudah menjadi barang komoditi. Nah, barang komoditi yang
sudah siap diperjualbelikan inilah yang sering disebut movie.
Melihat ketiga perspektif tersebut kita bisa
memasukkan film indie itu masih dalam perspektif film. Artinya, sebuah karya
audio visual yang sudah siap ditonton tapi belum masuk sebagai barang
komoditas. Dan yang menjadi kendala di film indie adalah faktor distribusi dan previewing.
Kalangan indie (terutama mahasiswa dan pelajar) mungkin punya cukup biaya untuk
memproduksi karya film dengan cara patungan atau cari donatur. Tetapi setelah
film selesai masih ada pekerjaan besar yang menunggu, yakni distribusi dan previewing.
Distribusi bagi mereka tidak mudah ditangani karena harus melalui jalur
pemasaran yang memerlukan biaya tidak sedikit. Maka yang terjadi kalangan indie
akan memasarkan filmnya ke kampus-kampus. Kedua soal previewing. Karya
indie karena dikemas dengan kamera video dan mayoritas diedit lewat komputer PC
maka tidak bisa ditayangkan di bioskop. Out put-nya sudah digital.
Selama ini bioskop tidak menyediakan LCD proyektor untuk memutar film
dalam format video. Mereka masih setia dengan proyektor 35 mm-nya. Alhasil,
karya indie yang notabena sudah digital tidak bisa ditonton masyarakat luas.
Memang ada juga kalangan indie yang masih idealis
dengan mengatakan yang penting produksi, soal ditonton oleh banyak orang atau
sendiri tidak masalah. Menurut penulis pernyataan ini agak aneh. Karena tiap filmmaker
menginginkan karyanya bisa dinikmati orang lain untuk diapresiasi. Sebab, untuk
mengukur kualitas sebuah karya harus ada umpan balik (feedback) dari
penonton. Selama tidak ada feedback kita tidak bisa meningkatkan
kualitas produk.
Ada dua contoh menarik dari persoalan di atas.
Pertama, perjuangan film Jelangkung karya Riri Riza dan Mira Lesmana.
Film yang dibuat dengan kamera video ini otomatis tidak bisa ditayangkan di
bioskop, sampai akhirnya bioskop 21 Pondok Indah uji coba menayangkannya.
Terpaksa Riri harus membawa sendiri LCD proyektor dan player VHS
(hasil akhir dalam bentuk kaset VHS). Di luar dugaan ternyata penontonnya
membludak. Dengan modal inilah akhirnya film ini ditransfer dalam bentuk film
35 mm agar bisa ditayangkan di bioskop 21 seluruh Indonesia. Keuntungannya pun
melimpah setelah berhasil nangkring di bioskop 21.
Kedua, pemasaran gerilya gaya Aria Kusumadewa.
Ada dua film Aria yang dipasarkan secara gerilya, yakni Beth dan Novel
Tanpa Huruf ‘R’. Kedua film ini dalam format video sehingga tidak
mungkin tayang di 21. Namun kampus merupakan sasaran strategis kedua film ini,
sampai hasilnya menguntungkan.
Kedua contoh tersebut memperlihatkan bagaimana
film indie yang sudah digital masih menjadi anak tiri dalam industri movie
kita. Maka tak bisa disalahkan jika Memed Hamdan, Kepala Deparsenibud Jawa
Barat menyatakan tidak bisa memberikan dispensasi kepada kalangan indie untuk
bisa ditayangkan di bioskop 21, terutama karena masalah bisnis yang dijalankan
manajemen 21. Dan sampai detik ini belum ada birokrat yang peduli dengan
soal previewing film indie ini, sampai akhirnya PA diberi
kesempatan AACC untuk memutar karya indie di sana.
Menggelar pemutaran film indie di AACC
bukannya tanpa masalah. Ada hal yang jadi kendala, pertama format video. Sampai
penayangan ketiga belum ada aturan jelas film-film yang bisa dikirim ke
PA, apakah kaset beta, mini DV, 8 pro, atau VCD dan DVD. Kalau menurut
pengamatan penulis sebaiknya format dibakukan menjadi kaset VHS saja. Alasannya,
setelah film selesai melalui proses editing di PC hasilnya bisa dicetak dalam
bentuk kaset VHS. Format ini masih dengan ektensi AVI sehingga tidak mengalami
degradasi color, suara dan lainnya. Beda lagi kalau sudah dalam bentuk
MPEG-1 (VCD,) otomatis sudah mengalami penurunan kualitas. Untuk DVD
masih mahal, karena format ini sudah menggunakan MPEG-3. Ektensi AVI masih
dianggap bagus karena masih memiliki ketajaman warna sehingga meskipun
menggunakan kamera handycam para penonton masih bisa menikmati keutuhan
warna video.
Selain itu kendala durasi. Sebaiknya ditentukan film-film pendek berdurasi
tidak lebih dari 20 menit. Masalahnya, pembuat film indie mayoritas masih
pemula, sehingga film-film yang dibuat panjang kurang bagus. Sebab, cara
bertutur lewat film masih gagap dan kurang menarik. Kita bisa belajar bagaimana
dulu Garin Nogroho mengawali membuat film dengan durasi hanya 10 menit.
Juga Robert Rodriguez yang kini sineas Hollyood memulai dengan film indie 6
menit. Jadi, lebih baik pendek tapi bagus daripada panjang tapi tidak menarik.
Untuk memutar film indie memang tidak harus di
AACC. Klab Baca juga sudah dua tahun terakhir ini sering memutar film-film
indie karya sineas asing hanya dengan menutupi sebuah ruangan dengan warna
hitam dan menyewa player VHS dan LCD proyektor. Juga Pusat
Kebudayaan Perancis (CCF) sering memutar film indie karya sineas negaranya.
Tapi, menonton film indie di bioskop punya kenikmatan tersendiri.
Meskipun film karya pemula tapi dengan akustik dan tata ruang yang baik layaknya
bioskop 21, para penonton merasa terhibur.
Yang paling menarik di AACC adalah dialog dengan para pembuatnya. Ini
tradisi yang menurut penulis sangat bagus sekali. Mereka tidak menilai baik
atau buruknya film yang sudah ditayangkan, tapi yang dinilai justru proses
kreatifnya. Seperti saat sebuah film animasi (durasi 5 menit) diputar,
pembuatnya menyatakan untuk mendapatkan bahan baku bonekanya harus dibeli dari
Jerman.
Yang jelas AACC merupakan bioskop pertama di
Bandung yang secara rutin menayangkan film indie. Bisa jadi suatu saat menjadi trendsetter
di Indonesia karena tidak hanya film dari Bandung yang tampil, ada juga
dari Yogyakarta dan Jakarta. Hanya kalau PA bersifat gratis, sementara
yang dari Yogyakarta bayar.
Terakhir soal kurasi terhadap film-filmnya.
Jika sebelumnya hampir aspek ini kurang diperhatikan, ke depan sudah harus
mulai melakukan kurasi terhadap film-film yang masuk. Sebab, setelah persoalan
produksi tentunya PA harus juga mulai melihat faktor kualitas. Selamat
datang bioskop digital! (Askurifai Baksin, Pemred Priangan Pos)
0 comments:
Post a Comment