Kekerasan Seksual Anak di Bawah Umur Masalah Kita Bersama

Written By Unknown on Tuesday, June 21, 2016 | 4:06 PM


 DR. ASEP TAPIP YANI, M.Pd.
:Kekerasan Seksual   Anak di Bawah Umur Masalah Kita Bersama

         (Bandung/pripos) Perilaku kehidupan remaja sekarang sangat memprihatinkan. Tindakan-tindakan tidak wajar yang mereka lakukan jauh tidak mencerminkan sebagai seorang pelajar. Tawuran, narkoba, geng motor, balapan liar dan segudang kasus-kasus kriminal yang mereka lakukan setiap hari kerap mengisi berita-berita di koran dan media elektronik. Bahkan yang membuat publik bergidik yaitu maraknya  pemerkosaan atau kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur atau remaja yang mencabuli anak di bawah umur.  Ini salah siapa,  Orang tuakah, guru sekolah,  lingkungan sekitar atau pemerintah yang tidak berdaya dengan derasnya arus globalisasi dan informasi  yang didukung canggihnya teknologi hingga dengan sebuah hape anak di bawah umur menjadi dewasa “karbitan”, mencontoh hal-hal buruk dari jendela dunia yang disebut internet ?
          Untuk  membahas masalah ini Priangan Post sengaja mewawancarai Dr. Asep Tapip Yani, M.Pd. Pertimbangannya,  guru teladan yang baru beberpa bulan “mengepalai” SMKN 4 Bandung ini telah berhasil menerapkan pendidikan karakter di sekolah kejuruan yang dulu dipimpinnya , SMKN 2 Bandung. Doktor lulusan tiga perguruan tinggi terkenal ini (Unpad, IKIP (UPI) Bandung dan IKIP Jakarta), terkenal motekar (kreatif) dan cerdas dalam menerapkan pendidikan bagi anak didiknya. Salah satunya  jauh sebelum walikota Bandung Ridwan Kamil mencanangkan Bandung Juara”, Asep Tapip telah  menerapkan pendidikan karakter “SMKN 2 Juara ( Jujur, Ulet, Ramah, dan Akhlak mulya) . Tiap hari para siswa  diasah hatinya. Pagi sebelum masuk kelas  para murid disuruh menggelar sajadah di lapang sekolah, Solat Duha, lalu  merapal solawat nabi dan wirid asmaul husna lalu ditutup dengan berdoa’. Disamping itu para siswa juga dididik dengan cara-cara kesundaan hingga
ketika mereka lulus menjadi anak yang yang soleh, taat beragama dan tidak melupakan budayanya.

Berikut petikan wawancaranya:
Jadi apa  penyebab dari semua ini ?
Jadi kalau kita melihat  gejala/ fenomena  perkosaan /kejahatan seks  yg dilakukan anak di bawah umur itu multi player.Baik efek maupun penyebabnya. Masalahnya tidak hanya satu. Persoalan di kita  utamanya dalam bidang pendidikan sudah banyak yang lepas, terutama pendidikan di keluarga.  Padahal menurut  keterangan rosul dan  kalimah hikmah para auliya   keluarga itu adalah madrosatul ulla,  sekolah pertama itu adanya   di keluarga”.                                                                                                         

Nah menurut pendapat saya kalau keterangan tersebut dipadukan dengan ilmu tentang perkembangan individu, dari  segi psikologi,  dalam masa perkembangan  anak itu ada yang disebut “golden age (usia emas/balita)”. jadi kalau dalam usia itu anak mendapat perhatian, kasih sayang dan pendidikan  karakter  dari orang tuanya,  dia pasti  akan  punya “perisai”  ketika mengalami tantangan hidup di era perkembangan berikutnya.  Hal itu saya rasakan,  dulu ketika bapak saya menyuruh ibu berhenti bekerja sebagai guru,  saya sempat  heran dan menyalahkan bapak, padahal ibu saya seorang guru terbaik di Garut. Tapi bapak bersikeras menyuruh ibu tinggal di rumah mengurus anak-anaknya. Belakangan baru sadar bahwa bapak itu seorang polisi yang tahu situasi jaman, apalagi waktu itu lagi ramai-ramainya banyak remaja terjerumus ke narkoba, menghisap ganja.  Alhamdulillah saya dan  semua saudara mendapat perhatian dan pendidikan keluarga di masa “golden age” dan orang tua tidak terlalu khawatir ketika anak-anaknya menjadi remaja karena ketika mennghadapi persoalan baik buruk di kemudian hari  sudah bisa menimang ( mempunyai filter).karena sdh terbentuk karakter ketika dalam usia” golden age”.                                                                                                      Saya teringat ketika mengikuti sebuah pertemuan di Jepang,  di Jepang itu orang mau nyeberang sekalipun kakek-kakek kalau tidak ada zebra cross tidak akan menyeberang,  mereka memilih nunggu polisi yang akan membantu menyeberangkannya. Itu kan hasil pendidikan di waktu kecil yang sudah jadi kebiasaan, karena karakter itu kan pembiasaan.                                                                                                                                       
Nah selepas masa “golden age”, ketika anak menginjak masa remaja pun tak kurang pentingnya harus mendapat perhatian dari keluarga. Apalagi sekarang jaman globalisasi dan abad informasi, dengan teknologi jarak  dan waktu bukan lagi persoalan. Kokohnya pagar dan tembok rumah pun ditembusnya. Dengan sebuah hape seorang anak bisa “anteng” membuka semua informasi dalam bentuk tulisan dan film tanpa terkontrol orang tuanya.  Apalagi kalau orang tuanya gaptek (gagap teknologi) anak jadi leluasa tanpa pengawasan. Hingga di jam-jam pelajaran pun banyak siswa yang bolos nongknrong di warnet berjam-jam dan mereka tak jarang “macok” uang SPP untuk bayar warnet. Mendingan konten yang dibukanya berhubungan dengan tugas-tugas sekolah, kalau situs-situs porno, itu kan bahaya. Jadi lengkap sudah persoalan teh,  sempurna sudah syetan menggoda dan menjerumuskan.

Mungkin tayangan televisi pun ikut   jadi penyebabnya ?
Ya betul .Termasuk acara televisi pun punten , tdk ada yang menunjang pendidikan karakter. Silakan perhatikan tontonan sinetron-sinetron  tidak  lagi jadi tuntunan, hanya memperlihatkan kekayaan,  gagayaan. Adapun yang mengskploitasi kemiskinan tapi ceritanya sangat tidak adil,   hanya si miskin yang teraniaya,  terpuruk tersiksa,  yang diperlihatkannya bukannya  perjuangan si miskin,  yang terjadi hanya konflik tokoh antagonis menganiaya tokoh baik ( protagonis). Jadi tontonan sekedar hiburan bukan jadi tuntunan. Harusnya badan sensor film (BSF) dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) berperan aktif dengan serius dan profesional.
Jadi persoalan kekerasan seksual yang dilakukan anak  di bawah umur penyebabnya sangat kompleks mulai dari keluarga yang longgar dan tidak utuh dan terlalu sibuk bekerja hingga anak kurang mendapat perhatian,  kondisi sosial ekonomi pun mengantarkan ke arah sana. Keluarga yang sangat  butuh terhadap ekonomi pasti hidupnya akan berjuang  menggantungkan hidupnya ke ekonomi dia takkan berfikir terhadap kebutuhan sosial dan spiritrual  yang penting bisa makan,  orang-orang seperti itu bisa dimanfaatkan calon-calon pemimpin dalam pilkada.
Apa pemerintah kurang serius menangani masalah ini ?
Ya,  negara juga banyak tidak hadir dalam tataran itu.Coba lihat saja lembaga-lembaga pembelajaran sekolah di usia anak  seperti PAUD yang “cap merah” hanya sedikit. Sekolah TK  punya negara di Bandung aja cuma tiga yang lainnya swasta padahal pendidikan di  usia” golden age” itu sangat penting. Maka kalau keluarga  dan pemerintah hadir lengkap semuanya.  

Saya sempat nulis tahun  90-an bahwa” Pendidikan Anak Mutlak Tanggung  Jawab Orang Tua”.  Cuma orang tuanya itu ada 3: Pertama,  orang tua herediter (orang tua yang diikat keluarga) diantaranya ibu,  bapak,  paman,  kakak,  uwa,  kakek,  nenek dsb. Kedua,  orang tua formal di sekolah,  orang tua yang sengaja dibentuk  sebagai pendidik,  ada guru,  wali kelas,  kakak kelas dan penjaga kelas pun jangan lupa  turut andil mendidik lingkungan pendidikan, memberi pelajaran dengan menjadikan sekolah bersih,  itu memberi pendidikan terhadap siswa. Ketiga,  orang tua di masyarakat,  bisa masyarakat bebas lingkungan sekitar termasuk masyarakat teknologi seperti  televisi,  teknologi-teknologi  yang bisa membawa perubahan perilaku, itu juga orang tua  karena dia memberi sesuatu.  Jadi dalam hal ini yang disebut orang tua itu orang yg diberi kewenangan dan  kemampuan untuk ngaping ngajaring,  mengarahkan,  mempengaruhi.                                                                                             Jadi   kejahatan seks yg dilakukan anak tidak akan begitu saja mudah hadir kalau pagar- pagar  itu hidup. Kata kunci orang tua itu kan  orang yg selalu mengingatkan berbuat baik, mengarahkan, menjaga supaya tidak terjerumus dimana pun posisinya. Kalau sekarang kan orang sudah tidak menganggap keluarga kalau statusnya anak org lain, ada anak-anak  nongkrong di jalan hingga larut malam, atau berjam-jam nongkrong di warnet dibiarkan, “sabodo teuing,  kuma karep” toh bukan anak kita. Padahal kalau ada dalam satu lingkungan  mereka itu anak-anak kita,  harusnya dibangun bahwa kita sebagai orang tua di masyarakat.   Begitu juga bahwa anak yang pakai seragam sekolah adalah anak guru, maka ketika guru SMKN 4 misalnya menemukan siswa sekolah lain melakukan pelanggaran itu kewajiban kita mengingatkan, ya paling tidak menelepon sekolah yg bersangkutan atau mengingatkan langsung terhadap anak tersebut.
Jadi “pagar-pagar” itu harus semuanya ikut andil mendidik anak-anak kita. Termasuk  negara dalam memelihara lingkungan, kenapa terjadi peristiwa perkosaan di rumah kosong,  di kebun, di jembatan penyebrangan yang gelap , di jalan- jalan yang  gelap, kenapa jalan bisa gelap tidak dikasih penerangan, kenapa sebuah taman di Jalan Supratman bisa dijadikan sarang begal, lah... kemarin guru di sini subuh- subuh dibegal padahal di depannya ada markas tentara.

Jadi bisa dikatakan ini akibat kelalaian kita semua dalam mendidik anak ?
Ya banyak faktor.  Jadi   orang yang melakukan ini  memang kehilangan sentuhan dari yg wajib yg menyentuhnya. Harusnya kan di formal,  ya di pendidikan / di sekolah,  di rumah ya oleh orang tuanya,  di pemerintah ya di pemerintahnya, karena pasilitas yg ada kalau tanpa ijin pemerintahan tidak akan terjadi. Kenapa film yang berbau porno aksi dan sadisme bisa keluar dan lolos sensor dan ditonton ribuan orang ? padahal itu akan melekat dalam memori anak remaja, lalu anak yang lagi mencari jati diri dan serba ingin tahu itu mencontohnya. Kalau orang dewasa kan sudah tahu rasanya tidak aakan mencoba lagi dan penuh perhitungan, tapi kalau remaj hasrat .ingin mencoba-cobanya sangat besar, .ya disitulah timbulnya pemerkosaan dan peristiwa-peristiwa kriminal lainnya yang tidak kita harapkan.*** (ASEP GP).


ASEP TAPIP YANI, kelahiran Pameungpeuk Garut, dari keluarga POLRI. Menamatkan SD dan SMP di Pameungpeuk. Setamat SMA Muhammadiyah Garut melanjutkan ke Diploma 2 Pendidikan Bahasa Inggris di FPBS IKIP Bandung lulus 1987. S1 Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD Bandung lulus 1991. Mengikuti Program Akta IV di IKIP Jakarta lulus 1993. Tahun 2002 lulus Cum Laude dari S2 Program Studi Administrasi Pendidikan Konsentrasi Perencanaan & Manajemen PPS UPI. Tahun 2007 lulus Cum Laude dari S3 Program Studi Administrasi Pendidikan SPS UPI.
          Aktif sebagai praktisi pendidikan sejak masih kuliah. Mulai dari SMP YPS Sarijadi Bandung 1986-1988, SMP Negeri 2 Tanjungkerta Sumedang 1988-1991, SMK Negeri 15 Bandung 1992-sekarang, STIA Bagasasi  Bandung 1997, FISIP UNPAS Bandung 1998-2003, STIKES Bakti Kencana Bandung 2002-2004, STTN Bandung 2003, STKIP Panca Sakti Bekasi sejak 2010, Pasca Sarjana STIMA IMMI Jakarta sejak 2007, Pasca Sarjana (S3) UNINUS Bandung sejak 2011, dan Pasca Sarjana UNAS Jakarta sejak 2011.
Aktif dalam organisasi pelestarian lingkungan hidup Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I), menjadi Koordinator FK3I Propinsi Jawa Barat 1994-1995 dan Koordinator Nasional FK3I 1995-1996. Aktif menjadi penggiat Forum Aspirasi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung. Turut serta mendeklarasikan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) sebagai wadah nasional organisasi profesi guru pada 17 Januari 2002. Juli 2002 memimpin sidang pada Kongres Pertama FGII di Bandung melahirkan Pengurus FGII periode pertama, menjadi Pengurus DPP FGII dan Ketua Umum DPC FGII Kota Bandung 2008-2012.
Beberapa tulisan yang pernah dimuat di media masa nasional diantaranya: "Guru Pahlawan Sepanjang Masa", "Pendidikan Anak Mutlak Tanggung Jawab 'Orang Tua'", "Education is Human Investment, Siapa Peduli?", "Guru Masa Depan,Guru Sang Pembebas",  "Mungkinkah, Malapraktik Dalam Dunia Pendidikan?" dll. Mengasuh kolom "TERAWANG" dalam tabloid dwi-mingguan Kopo Infobisnis, Pemimpin Redaksi tabloid SUPORTER, dan akhir 2006 membidani lahirnya ”BeDas” Jurnal Pendidikan Plus, media ekspresi komunitas pendidikan Kota Bandung yang diterbitkan Dinas Pendidikan Kota Bandung dan memimpin dewan redaksinya.
Memenuhi hasrat kepekerja-sosialan, tahun 2005 mendirikan LP2MI (Lembaga Pemberdayaan Potensi Masyarakat Indonesia), dan hingga kini aktif sebagai Ketua Dewan Pembinanya. .(Asep/pripos)

0 comments:

Post a Comment