DR. ASEP TAPIP YANI, M.Pd.
:Kekerasan
Seksual Anak di Bawah Umur Masalah Kita
Bersama
(Bandung/pripos) Perilaku
kehidupan remaja sekarang sangat memprihatinkan. Tindakan-tindakan tidak wajar
yang mereka lakukan jauh tidak mencerminkan sebagai seorang pelajar. Tawuran,
narkoba, geng motor, balapan liar dan segudang kasus-kasus kriminal yang mereka
lakukan setiap hari kerap mengisi berita-berita di koran dan media elektronik.
Bahkan yang membuat publik bergidik yaitu maraknya pemerkosaan atau kekerasan seksual yang
dilakukan oleh anak-anak di bawah umur atau remaja yang mencabuli anak di bawah
umur. Ini salah siapa, Orang tuakah, guru sekolah, lingkungan sekitar atau pemerintah yang tidak
berdaya dengan derasnya arus globalisasi dan informasi yang didukung canggihnya teknologi hingga
dengan sebuah hape anak di bawah umur menjadi dewasa “karbitan”, mencontoh
hal-hal buruk dari jendela dunia yang disebut internet ?
Untuk membahas masalah ini Priangan Post sengaja mewawancarai Dr. Asep Tapip Yani, M.Pd.
Pertimbangannya, guru teladan yang baru
beberpa bulan “mengepalai” SMKN 4 Bandung ini telah berhasil menerapkan
pendidikan karakter di sekolah kejuruan yang dulu dipimpinnya , SMKN 2 Bandung.
Doktor lulusan tiga perguruan tinggi terkenal ini (Unpad, IKIP (UPI) Bandung
dan IKIP Jakarta), terkenal motekar
(kreatif) dan cerdas dalam menerapkan pendidikan bagi anak didiknya. Salah
satunya jauh sebelum walikota Bandung
Ridwan Kamil mencanangkan Bandung Juara”, Asep Tapip telah menerapkan pendidikan karakter “SMKN 2 Juara
( Jujur, Ulet, Ramah, dan Akhlak mulya) . Tiap hari para siswa diasah hatinya. Pagi sebelum masuk kelas para murid disuruh menggelar sajadah di
lapang sekolah, Solat Duha, lalu merapal
solawat nabi dan wirid asmaul husna lalu ditutup dengan berdoa’. Disamping itu
para siswa juga dididik dengan cara-cara kesundaan hingga
ketika mereka lulus menjadi anak yang yang
soleh, taat beragama dan tidak melupakan budayanya.
Berikut petikan wawancaranya:
Jadi apa
penyebab dari semua ini ?
Jadi
kalau kita melihat gejala/ fenomena perkosaan /kejahatan seks yg dilakukan anak di bawah umur itu multi
player.Baik efek maupun penyebabnya. Masalahnya tidak hanya satu. Persoalan di
kita utamanya dalam bidang pendidikan sudah
banyak yang lepas, terutama pendidikan di keluarga. Padahal menurut keterangan rosul dan kalimah hikmah para auliya keluarga itu adalah madrosatul ulla, sekolah pertama itu adanya di keluarga”.
Nah
menurut pendapat saya kalau keterangan tersebut dipadukan dengan ilmu tentang
perkembangan individu, dari segi
psikologi, dalam masa perkembangan anak itu ada yang disebut “golden age (usia
emas/balita)”. jadi kalau dalam usia itu anak mendapat perhatian, kasih sayang
dan pendidikan karakter dari orang tuanya, dia pasti
akan punya “perisai” ketika mengalami tantangan hidup di era
perkembangan berikutnya. Hal itu saya
rasakan, dulu ketika bapak saya menyuruh
ibu berhenti bekerja sebagai guru, saya
sempat heran dan menyalahkan bapak,
padahal ibu saya seorang guru terbaik di Garut. Tapi bapak bersikeras menyuruh
ibu tinggal di rumah mengurus anak-anaknya. Belakangan baru sadar bahwa bapak
itu seorang polisi yang tahu situasi jaman, apalagi waktu itu lagi
ramai-ramainya banyak
remaja terjerumus ke narkoba, menghisap
ganja. Alhamdulillah saya dan semua saudara mendapat perhatian dan
pendidikan keluarga di masa “golden age” dan orang tua tidak terlalu khawatir
ketika anak-anaknya menjadi remaja karena ketika mennghadapi persoalan baik
buruk di kemudian hari sudah bisa
menimang ( mempunyai filter).karena sdh terbentuk karakter ketika dalam usia”
golden age”.
Saya
teringat ketika mengikuti sebuah pertemuan di Jepang, di Jepang itu orang mau nyeberang sekalipun
kakek-kakek kalau tidak ada zebra cross tidak akan menyeberang, mereka memilih nunggu polisi yang akan
membantu menyeberangkannya. Itu kan hasil pendidikan di waktu kecil yang sudah
jadi kebiasaan, karena karakter itu kan pembiasaan.
Nah
selepas masa “golden age”, ketika anak menginjak masa remaja pun tak kurang
pentingnya harus mendapat perhatian dari keluarga. Apalagi sekarang jaman
globalisasi dan abad informasi, dengan teknologi jarak dan waktu bukan lagi persoalan. Kokohnya
pagar dan tembok rumah pun ditembusnya. Dengan sebuah hape seorang anak bisa
“anteng” membuka semua informasi dalam bentuk tulisan dan film tanpa terkontrol
orang tuanya. Apalagi kalau orang tuanya
gaptek (gagap teknologi) anak jadi leluasa tanpa pengawasan. Hingga di jam-jam
pelajaran pun banyak siswa yang bolos nongknrong di warnet berjam-jam dan
mereka tak jarang “macok” uang SPP untuk bayar warnet. Mendingan konten yang
dibukanya berhubungan dengan tugas-tugas sekolah, kalau situs-situs porno, itu
kan bahaya. Jadi lengkap sudah persoalan teh,
sempurna sudah syetan menggoda dan menjerumuskan.
Mungkin tayangan televisi pun ikut jadi penyebabnya ?
Ya betul
.Termasuk acara televisi pun punten , tdk ada yang menunjang pendidikan
karakter. Silakan perhatikan tontonan sinetron-sinetron tidak lagi jadi tuntunan, hanya memperlihatkan kekayaan,
gagayaan. Adapun yang mengskploitasi
kemiskinan tapi ceritanya sangat tidak adil,
hanya si miskin yang teraniaya, terpuruk tersiksa, yang diperlihatkannya bukannya perjuangan si miskin, yang terjadi hanya konflik tokoh antagonis
menganiaya tokoh baik ( protagonis). Jadi tontonan sekedar hiburan bukan jadi
tuntunan. Harusnya badan sensor film (BSF) dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia)
berperan aktif dengan serius dan profesional.
Jadi
persoalan kekerasan seksual yang dilakukan anak
di bawah umur penyebabnya sangat kompleks mulai dari keluarga yang
longgar dan tidak utuh dan terlalu sibuk bekerja hingga anak kurang mendapat
perhatian, kondisi sosial ekonomi pun
mengantarkan ke arah sana. Keluarga yang sangat
butuh terhadap ekonomi pasti hidupnya akan berjuang menggantungkan hidupnya ke ekonomi dia takkan
berfikir terhadap kebutuhan sosial dan spiritrual yang penting bisa makan, orang-orang seperti itu bisa dimanfaatkan calon-calon
pemimpin dalam pilkada.
Apa pemerintah kurang serius menangani masalah
ini ?
Ya, negara juga banyak tidak hadir dalam tataran
itu.Coba lihat saja lembaga-lembaga pembelajaran sekolah di usia anak seperti PAUD yang “cap merah” hanya sedikit.
Sekolah TK punya negara di Bandung aja
cuma tiga yang lainnya swasta padahal pendidikan di usia” golden age” itu sangat penting. Maka
kalau keluarga dan pemerintah hadir
lengkap semuanya.
Saya
sempat nulis tahun 90-an bahwa” Pendidikan
Anak Mutlak Tanggung Jawab Orang Tua”. Cuma orang tuanya itu ada 3: Pertama, orang tua herediter (orang tua yang diikat keluarga)
diantaranya ibu, bapak, paman, kakak, uwa, kakek,
nenek dsb. Kedua, orang tua
formal di sekolah, orang tua yang
sengaja dibentuk sebagai pendidik, ada guru, wali kelas, kakak kelas dan penjaga kelas pun jangan lupa turut andil mendidik lingkungan pendidikan,
memberi pelajaran dengan menjadikan sekolah bersih, itu memberi pendidikan terhadap siswa.
Ketiga, orang tua di masyarakat, bisa masyarakat bebas lingkungan sekitar
termasuk masyarakat teknologi seperti
televisi, teknologi-teknologi yang bisa membawa perubahan perilaku, itu juga orang tua karena dia memberi sesuatu. Jadi dalam hal ini yang disebut orang tua itu
orang yg diberi kewenangan dan kemampuan
untuk ngaping ngajaring, mengarahkan, mempengaruhi. Jadi kejahatan seks yg dilakukan anak tidak akan
begitu saja mudah hadir kalau pagar- pagar itu hidup. Kata kunci orang tua itu kan orang yg selalu mengingatkan berbuat baik,
mengarahkan, menjaga supaya tidak terjerumus dimana pun posisinya. Kalau sekarang
kan orang sudah tidak menganggap keluarga kalau statusnya anak org lain, ada
anak-anak nongkrong di jalan hingga
larut malam, atau berjam-jam nongkrong di warnet dibiarkan, “sabodo
teuing, kuma karep” toh bukan anak kita.
Padahal kalau ada dalam satu lingkungan
mereka itu anak-anak kita, harusnya dibangun bahwa kita sebagai orang tua
di masyarakat. Begitu juga bahwa anak
yang pakai seragam sekolah adalah anak guru, maka ketika guru SMKN 4 misalnya
menemukan siswa sekolah lain melakukan pelanggaran itu kewajiban kita
mengingatkan, ya paling tidak menelepon sekolah yg bersangkutan atau
mengingatkan langsung terhadap anak tersebut.
Jadi
“pagar-pagar” itu harus semuanya ikut andil mendidik anak-anak kita. Termasuk negara dalam memelihara lingkungan, kenapa
terjadi peristiwa perkosaan di rumah kosong, di kebun, di jembatan penyebrangan yang gelap ,
di jalan- jalan yang gelap, kenapa jalan
bisa gelap tidak dikasih penerangan, kenapa sebuah taman di Jalan Supratman
bisa dijadikan sarang begal, lah... kemarin guru di sini subuh- subuh dibegal padahal
di depannya ada markas tentara.
Jadi bisa dikatakan ini akibat kelalaian kita
semua dalam mendidik anak ?
Ya
banyak faktor. Jadi orang
yang melakukan ini memang kehilangan
sentuhan dari yg wajib yg menyentuhnya. Harusnya kan di formal, ya di pendidikan / di sekolah, di rumah ya oleh orang tuanya, di pemerintah ya di pemerintahnya, karena pasilitas
yg ada kalau tanpa ijin pemerintahan tidak akan terjadi. Kenapa film yang
berbau porno aksi dan sadisme bisa keluar dan lolos sensor dan ditonton ribuan
orang ? padahal itu akan melekat dalam memori anak remaja, lalu anak yang lagi
mencari jati diri dan serba ingin tahu itu mencontohnya. Kalau orang dewasa kan
sudah tahu rasanya tidak aakan mencoba lagi dan penuh perhitungan, tapi kalau
remaj hasrat .ingin mencoba-cobanya sangat besar, .ya disitulah timbulnya
pemerkosaan dan peristiwa-peristiwa kriminal lainnya yang tidak kita harapkan.*** (ASEP GP).
ASEP TAPIP YANI, kelahiran
Pameungpeuk Garut, dari keluarga POLRI. Menamatkan SD dan SMP di Pameungpeuk.
Setamat SMA Muhammadiyah Garut melanjutkan ke Diploma 2 Pendidikan Bahasa
Inggris di FPBS IKIP Bandung lulus 1987. S1 Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP
UNPAD Bandung lulus 1991. Mengikuti Program Akta IV di IKIP Jakarta lulus 1993.
Tahun 2002 lulus Cum Laude dari S2 Program
Studi Administrasi Pendidikan Konsentrasi Perencanaan & Manajemen PPS UPI.
Tahun 2007 lulus Cum
Laude dari S3 Program Studi Administrasi Pendidikan SPS UPI.
Aktif sebagai praktisi pendidikan
sejak masih kuliah. Mulai dari SMP YPS Sarijadi Bandung 1986-1988, SMP Negeri 2
Tanjungkerta Sumedang 1988-1991, SMK Negeri 15 Bandung 1992-sekarang, STIA
Bagasasi Bandung 1997, FISIP UNPAS
Bandung 1998-2003, STIKES Bakti Kencana Bandung 2002-2004, STTN Bandung 2003,
STKIP Panca Sakti Bekasi sejak 2010, Pasca Sarjana STIMA IMMI Jakarta sejak
2007, Pasca Sarjana (S3) UNINUS Bandung sejak 2011, dan Pasca Sarjana UNAS
Jakarta sejak 2011.
Aktif dalam organisasi pelestarian lingkungan hidup Forum
Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I), menjadi Koordinator FK3I Propinsi Jawa Barat 1994-1995
dan Koordinator Nasional FK3I 1995-1996. Aktif menjadi penggiat Forum Aspirasi
Guru Independen (FAGI) Kota Bandung. Turut serta mendeklarasikan Federasi Guru
Independen Indonesia (FGII) sebagai wadah nasional organisasi profesi guru pada
17 Januari 2002. Juli 2002 memimpin sidang pada Kongres Pertama FGII di Bandung
melahirkan Pengurus FGII periode pertama, menjadi Pengurus DPP FGII dan Ketua
Umum DPC FGII Kota Bandung 2008-2012.
Beberapa tulisan yang pernah dimuat di
media masa nasional diantaranya: "Guru
Pahlawan Sepanjang Masa", "Pendidikan Anak Mutlak Tanggung Jawab
'Orang Tua'", "Education is
Human Investment, Siapa Peduli?", "Guru Masa Depan,Guru Sang
Pembebas", "Mungkinkah, Malapraktik Dalam Dunia Pendidikan?" dll.
Mengasuh kolom "TERAWANG" dalam tabloid dwi-mingguan Kopo Infobisnis, Pemimpin Redaksi
tabloid SUPORTER, dan akhir 2006 membidani lahirnya ”BeDas” Jurnal Pendidikan
Plus, media ekspresi komunitas pendidikan Kota Bandung yang diterbitkan Dinas
Pendidikan Kota Bandung dan memimpin dewan redaksinya.
Memenuhi hasrat kepekerja-sosialan, tahun 2005 mendirikan
LP2MI (Lembaga Pemberdayaan Potensi
Masyarakat Indonesia), dan hingga kini aktif sebagai Ketua Dewan Pembinanya.
.(Asep/pripos)
0 comments:
Post a Comment