Media Berperan Mendidik Politik Masyarakat

Written By Unknown on Thursday, December 20, 2012 | 5:35 AM

Dari Gelar Diskusi di Diskominfo Jabar
Media Berperan Mendidik Politik Masyarakat


Bandung, Kamis 20/12 (Pripos),- Sebagian besar yang hadir merupakan wartawan senior, lebih spesifik lagi bidang peliputan politik dan pemerintahan.  Tidak terlalu formal, sederhana dan cenderung rileks. Kendati bukan gaya lesehan ala aktivis, namun pertemuan itu begitu mengesankan. Bukan hanya karena peserta yang hadir  beraneka performa penampilan karena memang tidak ada keharusan jurnalis berseragam, tetapi pembicaraan yang diangkat dalam obrolan itu benar-benar mengusik kecerdasan.
Betapa tidak, ruang aula Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Provins Jawa Barat berkapasitas ratusan orang ini, terasa sesak dengan serunya perdebatan yang terjadi. Padahal peserta yang hadir kurang dari 100 orang. Di tempat resmi ini, para kuli disket beradu argument dengan tiga orang nara sumber. Acaranya sendiri disebut gelar diskusi yang diprakarsai Diskominfo Jabar dengan mengangkat tema ‘Peran Media Massa dan Pendidikan Politik’. Urgensi dari tema ini adalah meneropong satu sisi peran media dalam proses pendidikan dan pendewasaan politik rakyat dengan mengambil latar pemilihan gubernur (Pilgub) Jabar 2013.
Tiga pakar sebagai nara sumber, masing-masing Bunyamin Maftuh dengan mengangkat topic ‘pendidikan pilitik untuk membangun masyarakat Jawa Barat yang demokratis’, kemudian Dr. Dede Mulkan dengan kupasan ‘peran media massa dalam sosialisasi pendidikan politik di Jawa Barat’ dan terakhir pakar komunikasi Sahala Tua Saragih yang menyuguhkan ‘bila media sekolah politik rakyat’.
Pembicara pertama, pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan (UPI) Bandung,  Bunyamin Maftuh  melontarkan pertanyaan kritis, siapakah yang berperan dalam pendidikan politik pada masyarakat  masa kini, pemerintahkah, partai politikkah atau juga media massa? Sementara Bunyamin melihat prilaku politik masyarakat saat ini masih banyak yang kurang memahami system politik secara benar, kurang menerapkan sikap dan perilaku politik yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, serta kecenderungan terjadinya penurunan partisipasi politik masyarakat (apatisme politik), juga kekhawatiran tejadinya indoktrinasi politik seperti pada masa orla dan orba.   
Menurut Bunyamin, jika pendidikan politik/demokrasi terletak pada pemerintah, maka yang terjadi sesungguhnya tidak ada kegiatan pendidikan politik yang tersetruktur seperti halnya Penataran P4 masa orba, itu pun masih ada kelemahan dari sisi kekhawatiran terjadinya indoktrinasi politik. Memang pemerintah telah mengenalkan empat pilar kebangsaan, namun belum secara intensif dilakukan kepada masyarakat.
Sementara, tambah Bunyamin, pendidikan politik/demokrasi masyarakat berada pada partai politik, yang ada fungsi sosialisasi politik bagi warga masyarakat sebetulnya kurang berjalan baik. Partai politik selama ini lebih berorientasi pada pengejaran kekuasaan dan kurang pada peningkatan kesejahteraan anggota. “Para pengurus partai kurang mampu memberi contoh sikap dan perilaku politik yang baik bagi masyarakat,” kata Bunyamin.
Pakar komunikasi dari Univesitas Padjadjaran, S. Sahala Tua Saragih memandang, selain memberikan informasi dan hiburan yang sangat bermanfaat bagi khalayak, melakukan control (pengawasan) sosial, media juga berfungsi sebagai pendidik, termasuk pendidikan di bidang politik.
“Akan tetapi pngamatan dan pengalaman kita sehari-hari menunjukkan, media umumnya bukan melakukan pendidikan politik, melainkan pengajaran politik praktis buruk, dengan memberitakan perilaku buruk para politisi di DPR, DPRD, para pemimpin lembaga-lembaga eksekutif, para pemimpin lembaga-;embaga lainnya, para pengacara, koruptor dan para pejabat di lembaga penegakan hukum, secara intensif, besar-besaran, dan terus menerus,” katanya. Dengan pola pemberitaan seperti ini rakyat akhirnya pecaya bahwa politik memang jorok, kotor, buruk dan sebagainya.
Sahala Tua Saragih, selain akademisi pada departemen jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad juga seorang praktisi media. Sebelum menginjakkan karier sebagai dosen jurnalistik, Sahala lama menjadi wartawan sebuah media nasional.  Hemat Sahala, sudah terlalu lama rakyat dicekoki pelajaran politik praktis buruk oleh media, terutama tv-tv swasta nasional. Kini sudah waktunya media mulai memberikan pendidikan (bukan hanya pengajaran) politik praktis yang baik kepada rakyat.
“Para wartawan khususnya dan para pekerja media umumnya harus mengubah pola piker yang salah selama ini. Bukan hanya berita baik,buruk, bahkan berita buruk harus bisa menjadi berita baik,” pintanya kepada wartawan di manapun berada. (PP 020)

0 comments:

Post a Comment