Media Berperan Mendidik
Politik Masyarakat
Bandung, Kamis 20/12
(Pripos),-
Sebagian besar yang hadir merupakan
wartawan senior, lebih spesifik lagi bidang peliputan politik dan
pemerintahan. Tidak terlalu formal, sederhana dan cenderung rileks.
Kendati bukan gaya lesehan ala aktivis, namun pertemuan itu begitu mengesankan.
Bukan hanya karena peserta yang hadir beraneka performa penampilan karena
memang tidak ada keharusan jurnalis berseragam, tetapi pembicaraan yang
diangkat dalam obrolan itu benar-benar mengusik kecerdasan.
Betapa tidak, ruang aula Dinas
Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Provins Jawa Barat berkapasitas ratusan
orang ini, terasa sesak dengan serunya perdebatan yang terjadi. Padahal peserta
yang hadir kurang dari 100 orang. Di tempat resmi ini, para kuli disket beradu
argument dengan tiga orang nara sumber. Acaranya sendiri disebut gelar diskusi
yang diprakarsai Diskominfo Jabar dengan mengangkat tema ‘Peran Media Massa dan
Pendidikan Politik’. Urgensi dari tema ini adalah meneropong satu sisi peran
media dalam proses pendidikan dan pendewasaan politik rakyat dengan mengambil
latar pemilihan gubernur (Pilgub) Jabar 2013.
Tiga pakar sebagai nara sumber,
masing-masing Bunyamin Maftuh dengan mengangkat topic ‘pendidikan pilitik untuk
membangun masyarakat Jawa Barat yang demokratis’, kemudian Dr. Dede Mulkan
dengan kupasan ‘peran media massa dalam sosialisasi pendidikan politik di Jawa
Barat’ dan terakhir pakar komunikasi Sahala Tua Saragih yang menyuguhkan ‘bila
media sekolah politik rakyat’.
Pembicara pertama, pakar pendidikan
dari Universitas Pendidikan (UPI) Bandung, Bunyamin Maftuh
melontarkan pertanyaan kritis, siapakah yang berperan dalam pendidikan politik
pada masyarakat masa kini, pemerintahkah, partai politikkah atau juga
media massa? Sementara Bunyamin melihat prilaku politik masyarakat saat ini masih
banyak yang kurang memahami system politik secara benar, kurang menerapkan
sikap dan perilaku politik yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, serta
kecenderungan terjadinya penurunan partisipasi politik masyarakat (apatisme
politik), juga kekhawatiran tejadinya indoktrinasi politik seperti pada masa
orla dan orba.
Menurut Bunyamin, jika pendidikan
politik/demokrasi terletak pada pemerintah, maka yang terjadi sesungguhnya
tidak ada kegiatan pendidikan politik yang tersetruktur seperti halnya
Penataran P4 masa orba, itu pun masih ada kelemahan dari sisi kekhawatiran
terjadinya indoktrinasi politik. Memang pemerintah telah mengenalkan empat
pilar kebangsaan, namun belum secara intensif dilakukan kepada masyarakat.
Sementara, tambah Bunyamin,
pendidikan politik/demokrasi masyarakat berada pada partai politik, yang ada
fungsi sosialisasi politik bagi warga masyarakat sebetulnya kurang berjalan
baik. Partai politik selama ini lebih berorientasi pada pengejaran kekuasaan
dan kurang pada peningkatan kesejahteraan anggota. “Para pengurus partai kurang
mampu memberi contoh sikap dan perilaku politik yang baik bagi masyarakat,”
kata Bunyamin.
Pakar komunikasi dari Univesitas
Padjadjaran, S. Sahala Tua Saragih memandang, selain memberikan informasi dan
hiburan yang sangat bermanfaat bagi khalayak, melakukan control (pengawasan)
sosial, media juga berfungsi sebagai pendidik, termasuk pendidikan di bidang
politik.
“Akan tetapi pngamatan dan
pengalaman kita sehari-hari menunjukkan, media umumnya bukan melakukan
pendidikan politik, melainkan pengajaran politik praktis buruk, dengan
memberitakan perilaku buruk para politisi di DPR, DPRD, para pemimpin
lembaga-lembaga eksekutif, para pemimpin lembaga-;embaga lainnya, para
pengacara, koruptor dan para pejabat di lembaga penegakan hukum, secara
intensif, besar-besaran, dan terus menerus,” katanya. Dengan pola pemberitaan
seperti ini rakyat akhirnya pecaya bahwa politik memang jorok, kotor, buruk dan
sebagainya.
Sahala Tua Saragih, selain akademisi
pada departemen jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad juga seorang
praktisi media. Sebelum menginjakkan karier sebagai dosen jurnalistik, Sahala
lama menjadi wartawan sebuah media nasional. Hemat Sahala, sudah terlalu
lama rakyat dicekoki pelajaran politik praktis buruk oleh media, terutama tv-tv
swasta nasional. Kini sudah waktunya media mulai memberikan pendidikan (bukan
hanya pengajaran) politik praktis yang baik kepada rakyat.
“Para wartawan khususnya dan para
pekerja media umumnya harus mengubah pola piker yang salah selama ini. Bukan
hanya berita baik,buruk, bahkan berita buruk harus bisa menjadi berita baik,”
pintanya kepada wartawan di manapun berada. (PP 020)
0 comments:
Post a Comment